Jumat, 31 Oktober 2008

Menuju Hati Yang Khusu'

Pembuka Tujuh Pintu Hati


Untuk Membangun sebab-sebab agar hati seorang hamba menjadi khusu’, satu-satunya cara ialah, hendaklah seorang hamba melaksanakan mujahadah di jalan Allah Ta’ala. Karena dengan mujahadah itu supaya Allah Ta’ala memberikan futuh (terbukanya pintu hati) sebagaimana telah di janjikan-Nya :

dan orang-orang yang berjihat untuk Mencari ridhaan kami,benar-benar akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami” QS.al Ankabut.29/69.

Dalam kaitannya pintu hati tersebut, dengan dikaikan dengan firman Allah Ta’ala berikut ini:

“Sesungguhnya waliku adalah allah, yang telah menurunkan alkitab (AlQuran).dan dia memberikan walayah kepada orang yang soleh” QS.alA’raaf.7/196.

Guru besar kita Asy-Syekh Ahmad Asori Al-Ishaqi ra. telah berfatwa dalam suatu majlis pengajian yang diselenggarakan di pondok pesantren yang di pimpinnya di surabaya. Yaitu bahwa salah satu hasil yang dapat diperoleh dari pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh yang istiqomah(thoriqoh) yang benar, hati seorang salik akan mendapatkan futuh dari Alah Ta’ala. Yaitu terbukanya matahati untuk menerima hidayah yang didatangkan secara bertahap sampai tujuh tahap. Dengan ”tujuh tahapa Futuh tersebut seorang hamba berpotensi mendapatkan ma’rifatullah.mencintai dan dicintai-Nya. Tahapan futuh tersebut ialah:

  1. Terhadap orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Allah itu, sebagai buah dzikir yang dilakukan, tahapa pertama,Allah akan membuka empat pintu dzikir itu ialah:

· Pintu pertama,lesannya dimudahkan untuk berdzikir kepada Allah namun dengan hati masih dalam keadaan lupa kepada-Nya

· Pintu kedua, lesannya berdzikir dengan hati sudah mulai ingat

· Pintu ketiga, lesannya berdzikir dengan hati yang hadir dihadapan Allah

· Pintu keempat, lesannya bedzikir dengan hati yang lupa kepada selain yang didzikiri.

*) Adalah empat tahap terbukanya pintu matahati (futuh) untuk supaya seorang salik berjalan di jalan Allah atau berthoriqoh dapat merasakan kenikmatan berdzikir yang harus mampu diselesaikan di dalam riyadhoh (latihan) yang dilakukan, sampai mereka benar-benar dapat merasakan kenikmatan “bermujalasah” (besimpuh kepada Allah Ta’ala).

Seperti menu makanan yang harus dimakan setiap hari, setelah hati mampu menikmati kenikmatan dzikir itu, maka dzikir-dzikir yang harus dilaksanakan setiap hati itu sebagai kewajiban pribadi yang sudah di Bai’ati di hadapan guru mursidnya_ tidak lagi menjadi beban hidup yang harus di tanggungnya, tapi malah menjadi kebutuhan hidup yang sudah tidak dapat ditingalkan lagi.

Yang demikian itu karena hati seorang hamba telah wushul kepada tuhannya sehingga matahatinya mampu bermusyahadah kepadanya.melihat dan menyaksikan keelokan Qodho’ dan Qodar nya.seperti orang yang sedang kasmaran yang duduk disisi kekasihnya. Maka kenikmatan didalam kebersamaan itu mampu mengalahkan kenikmatan lain yang ada di alam sekitarnya.

  1. Ketika seorang salik sudah dapat merasakan kenikmatan berdzikir, maka dibuka baginya pintu kedekatan dengan Allah Ta’ala.

*) Dengan dibukanya pintu kedekatan itu, maka dimanapun mereka berada, seorang salik itu merasa berada di sisi Allah Ta’ala. Berada dalam perlindungan, pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga kenikmatan-kenikmatan hidup yang selama ini terhijab oleh ketamakan dan kerakusan hati serta pengakuan hawa nafsu, kini matahati itu telah menjadi cemerlang anugrah ilahi itu menjadi tampak terang di pelupuk mata. Yang demikian itu menjadikan hatinya merasa malu kepada Allah Ta’ala betapa selama ini dia belum pernah mensyukurinya.

Hasilnya sejak itu hidupnya menjadi penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tidak merasa ada yang kurang suatu apapun lagi sehingga mampu menerbitkan rasa syukur yang hakiki.

Setelah syukur itu mampu menjiwai prilaku dan karakter kehidupannya, maka Allah akan menurunkan tambahan kenikmatan lagi, sehingga didalam menempuh kehidupan selanjutnya, mereka tidak merasa takut dan khawatir lagi untuk selama lamanya.

Itulah ilmu yakin yang didapatkan dari buah ibadah yang tidak mungkin didapat melalui proses belajar mengajar. Ilmu yakin itu adalah ilmu yang maha luas seperti samaudra yang tak bertepi dan dari situlah kehidupan hati seorang hamba menjadi hati yang khusu’.

  1. Kemudian diangkat menjadi maqam keriduan dengan Allah

*) Setelah hijab-hijab yang menyelimuti mataha itu menjadi sirna sehingga hati itu merasakan setiap kenikmatan yang ada terlebih disaat salik itu mengadakan pendekatan taqarup dengan ibadah dan mujahadah selanjutnya timbullah rasa rindu kepada Allah Ta’ala rindu untuk selalu mendekat ke hariba’an Nya

Hasilnya dalam keadaan bagaimana dan dimanapun berada kecemerlangan hati itu selalu dijaganya. mereka takut kalau kalau kejernihan itu menjadi keruh kembali sehingga apapun yang dilakukan baik ibadah vertikal maupun horizontal dilaksanakan semata mata untuk menjaga hati itu supaya tidak terjadi keruh lagi. Allah menggambarkan keadaan itu dengan firmannya:

Laki-laki yang tidak dilalaikan dengan perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan(dari) membayarkan zakat. mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”QS.an-Nur.24/37.

  1. Selanjutnya seorang salik itu didudukkan di atas kursi-kursi ketauhidan. Artinya dalam keadaan bagaimanapun hatinya akan selalu mampu bertauhid kepada Allah Ta’ala.

· Pertama : Bertauhid didalam tujuan (tauhiidul qoshdi)

· Kedua : bertauhid didalam perbuatan (tauhiiddul fi’il)

· Ketiga : Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki)

· Keempat : Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud)

*) Dengan terbukanya empat tahap pintu tauhid itu, menjadikan seorang hamba dapat terhindar dari perbuatan syirik, baik syirik didalam tujuan amal, didalam amal perbuatan, didalam hak pemilikan dan syirik didalam wujud. Selanjutnya menjadikan seorang salik mampu tidak takut dan tidak berharap lagi kecuali hanya kepada Allah Ta’ala. Itulah kekuatan akhidah yang tidak cukup hanya dibangun dengan penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun juga harus dengan pelaksanaan amal ibadah yang istiqomah.

Kalau orang hanya mengerti tentang tauhid secara teori saja, bukan tauhid yang dibangun dengan dzikir dan wirid yang istiqomah didalam hati, maka tauhid itu dominan dilahirkan dengan ucapan dibibir saja, bahkan seringkali diatualisasikan dengan mensyirikkan dan membid’ahkan amal ibadah orang lain. akibatnya seperti maling teriak maling, karena sejatinya tanpa sengaja mereka sendirilah yang suka berbuat syirik dan bid’ah itu, Statemen itu dapat meresahkan umat dan perpecahan masyarakat dimana mana.

Demikianlah yang banyak dilakukan oleh para pendatang baru didalam komunitas masyarakat. Di komplek komplek yang heterogen. Sebelum mereka datang, aktifitas keagamaan di tengah masyarakat yang heterogen itu berjalan dengan damai. Namun setelah mereka datang dengan mengatas namakan amal ma’ruf nahi mungkar, mereka malah memporak porandakan kedamaian tersebut dengan statemen “syirik dan bid’ah yang mereka budayakan. sebagai ciri khas yang paten akan keberadaan mereka dimana-mana.

Seperti tentara-tentara setan yang bertugas mengadu domba manusia, biasanya mereka hanya menyalahkan kebiasaan yang dilakukan masyarakat setempat yang jelas-jelas menunjukkan hasil yang positif. Yaitu kerukunan dalam pergaulan bermasyarakat. Karena masyarakan telah terbiasa menerima perbedaan yang ada. namun setelah mereka datang masyarakat malah menjadi bingung dan terpecah belah .mereka mengatakan yang demikian itu amar ma’ruf nahi mungkar tapi mengapa hasilnya justru kemungkaran yang akhirya menjadikan kekacauan dan perpecahan yang berkepanjangan.

Yang demikian itu sejatinya tauhid mereka hanya dibibir saja sedangkan hatinya penuh dengan syirik dan kemungkaran telah mampu dibuktikan sendiri oleh hasil kinerja mereka ditengah tengah masyarakat. ironisnya sarang mereka justru dimasjid-masjid yang dibangun oleh jerih payah masyarakat yang kemudian mampu dikuasai oleh keserakahan hati mereka yang dibungkus dengan managemen secara propesional dan sistematis. melengserkan kepengurusan terdahulu yang notabene masyarakat tradisional dan awam.

  1. Setelah tauhid yang ada dalam hati salik itu semakin mapan, kemudian hijab-hijab dalam hatinya diangkat dan hati mereka di masukkan kedalam pintu wahdaniyah.

*) Kekuatan suluk (mistikisme) yang mampu diaktualisasikan di dalam dzikir dan wirid istiqomah yang di dasari tauhid yang hakiki, menjadikan hati seseorang hamba fana dihadapan Tuhannya. Nuraninya menyatu didalam rahasia keesaan-Nya.seperti segelas racun ketika dituangkan di tengah samudra maka air yang campur dengan racun itu seketika menjadi air murni lagi.Demikianlah, hati manusia yang telah tercemari kotoran basyariah itu, dengan pelaksanaan suluk yang terkendali, akhirnya hati itu kembali kepada fitrahnya lagi.

Yang demikian itu karena sejatinya asal mula air racun dan air samudra itu memang terlahir dari benda yang sama. Seandainya yang satu dari minyak dan satunya dari air, meski dicampur dengan cara yang bagaimanapun kuatnya , keduanya pasti tidak dapat bersatu untuk selamamanya. Itulah gambaran hati yang beriman dan hati yang kafir. mesti kadang-kadang mereka telah mampu menunjukkan penampilan dhohir yang sama, sama-sama melaksanakan ibadah dibawah satu atap masjid yang sama, bahkan sama sama memakai baju dan pecis putih didalam suatu komunitas majlis dzikir yang dibimbing oleh seorang guru mursid yang suci lagi mulia, namun kehidupan mereka tidak mampu menunjukkan sikap persaudaraan yang saling bermusuhan dan sikut sikutan dengan dasar kemunafikan hati yang tidak berkesudahan.

  1. Setelah yang asalnya berbeda itu telah mampu kembali ke asalnya, kembali ke haribaan-Nya di dunia fana, maka selanjutnya dibuka penutup-penutup keagungan dan kebesaran Allah yang selama ini menutupi sorot matahatinya, dan ketika matahati yang tembus pandang itu selalu melihat keagungan dan kebesaran tuhannya maka jadilah hati itu menjadi fana dengan dirinya sendiri.
  2. Selanjutnya, disampaikanya kepadannya, penjagaan dan pemeliharaan Allah. Adapun penjagaan dan pemeliharaan pertamakali yang diberikan ialah, seorang hamba itu dijaga dan dipelihara dari pengakuan nafsunya sendiri. Maka jadilah ia seorang waliyullah.(dikutip dari pengajian rutin,Asy-Syekh Ahmad Asrori al Ishaqi ra.)

*) Tujuh tahapan futuh tersebut adalah tahapan terbukanya matahati seorang hamba untuk dapat bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah Ta’ala yang harus dicapai melalui jalan ibadah (thoriqoh) yang terbimbing oleh Ahlinya (guru mursid yang suci dan mulia)

Manakala jalan ibadah itu tidak ada yang membimbing maka pembimbingnya adalah setan Jin, sehingga amal ibadah itu bukan menghasilkan ma’rifattullah yang menjadikan hati menjadi khusu’, tapi boleh jadi kelebihan-kelebihan pribadi yang sifatnya duniawi hingga malah mendorong manusia terperangkap kepada tipu daya setan yang terkutuk.

Akibatnya, hasil akhir dari mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan itu hanya akan menjadikan para salik terlahir menjadi dukun dan para normal yang cenderung berbuat syirik, sombon dan takabur. Terlebih lagi, ketika dukun dan para normal itu terlahir dari orang yang notabene lulusan pesantren. Orang yang pandai membaca kitap kuning dan berpidato. Orang awam menilai, dikira yang demikian itulah gambaran kyai yang ideal. Kyai yang mempuyai karomah dan sakti mandraguna. Sehingga para awam itu tidak ragu lagi mengikuti praktek yang yang mereka lakukan dalam pencarian jalan keluar dari problem dari kehidupan yang sedang melilit kehidupan yang sedang sakit itu. Kecuali para awam itu telah habis habisan terpelosok didalam jebakan tipudaya mereka.

Inilah awal kehancuran bagi orang yang senang beribadah dengan tanpa bimbingan seorang guru ahlinya-yang tidak mudah dapat disadari kecuali setelah mereka benar benar hancur sama sekali. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari tipu daya hawa nafsu dan setan yang terkutuk.

Oleh karena itu tidak cukup dengan ilmu saja yang didapat dari membaca buku dan kitab kemudian orang itu berangkat untuk berjalan di jalan Allah dalam rangka mengamalkan ilmu tersebut. Namun ilmu itu terlebih dahulu digurukan terlebih dahulu kepada guru ahlinya. Selanjutnya dengan bimbingan guru itu, ilmu yang sudah dikuasai itu, baru dipraktekkan didalam pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh. Sebab yang harus diilmui dengan ilmu itu, terlebih dahulu adalah hatinya sendiri.supaya hati itu terbebas dari kotoran karakter basyariah yang dapat menyesatkan jalannya ibadah.

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani ra. Berkata :

Seorang tidak akan dibuka hatinya kecuali bagi mereka yang telah bersih dari pengakuan nafsu dan kemauan syahwatnya. Maka ketika seorang teledor untuk mensucikan jiwanya, ia diuji oleh Allah dengan sakit. Sebagai kafarat dan pensucian terhadap jiwanya,sadar maupun tidak. Supaya di pantas untuk bermujalasah dihadapan tuhanya.(Lujjainid Dani)

(malfiali)

Rabu, 29 Oktober 2008

HARUSKAH KITA BERTHORIQOH ?

APA ITU THORIQOH

Thoriqot adalah suatu sistem untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan
merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan keadaan
seseorang dapat bermusyahadah dengan matahatinya .

Jika kita ingin ke Al Fitroh kedinding, kita benar-benar tidak tahu dimana Al Fitroh kedinding itu berada, naik bus atau sepeda kesana.

Jika kita memaksa juga tanpa pemandu ingin ke Al Fitroh kedinding pasti nyasar, juga tanpa kedaraan yang memadai dan tepat apakah kita dapat sampai kesana ?

kadang2 kita tertipu dan ditipu(udah nyasar kesasar lagi)

Yang bagus adalah kita dipandu, diantarkan oleh pemandu yang sudah tahu Al Fitroh kedinding dan tahu jalan menuju Al Fitroh kedinding apalagi ditambah dengan kendaraan yang bagus dan tepat yang terpenting adalah mbonceng.

Dan seterusnya akhirnya kita bisa bolak balik ke Al Fitroh kedinding dengan lancar, karena sudah tahu Al Fitroh kedinding, kita bisa menjelajah Al Fitroh kedinding dan tahu banget Al Fitroh kedinding. Sehingga kelak jika ingin ke dan tinggal di Al Fitroh kedinding kita sudah bisa dan biasa.kadang bias mampir ke sunan ampel,maulana malik ibrahim,sunan giri dan lainnya.Begitulah perumpamaan yang diberikan yai

Di dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 407 thoriqot itu adalah mengamalkan
syari’at dan mengambil sesuatu yang paling penting, menjauhi sesuatu yang mudah atau
ringan dari sesuatu tidak pantas disepelekan. Juga menjauhi hal-hal yang diharamkan dan
dimakruhkan dan melaksanakan yang fardlu serta sunat-sunatnya sesuai kemampuannya
yang dibimbing oleh seorang yang telah ma’rifat kepada Allah (guru mursyid).
Menurut para Alim Ulama ahli ma’rifat Thoriqot terbagi dua : 1) Thoriqot Suluk
yaitu membersihkan nafsu dari segala kotoran dengan cara (thoriqot) riyadloh, puasa,
tidak tidur (melek), uzlah, zuhud dengan bimbingan mursyid agar bisa mencapai setingkat demi setingkat kepada maqom (kedudukan) yang sempurna.
Bahkan menurut Imam Al Ghazali :
“Barang siapa yang telah bertafaqur dalam masalah agama (memahami, mempelajari,
mengamalkan agar mendapat ridlo Allah itu juga disebut thoriqot suluk). 2) Thoriqot
Tabaruk yaitu murid mengambil dzikir dari guru mursyid agar hatinya tidak lupa kepada
Allah, supaya diampuni dosa, jauh dari macam-macam lalai, selamat dari hal-hal yang
dibenci syara, selamat dari perbuatan hina dan siksaan Allah sehingga sampai kepada
tujuan yaitu hati bersih dan kembali menghadap Allah. Contoh Thoriqot Tabaruk ini seperti yang diamalkan di Pondok Pesantren Alfithrah yang dipimpin oleh Guru
Mursyid yang mulia Asy-Syekh Ahmad Asrori al Iqhaqi ra
Thoriqot, bukanlah aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, tetapi thoriqot adalah
bagian dari ajaran Agama Islam yang terpenting.

Sebagaimana sabda Rasullulah SAW :
“Asysyari’atu aqwaalii athoriiqotu af’aalii alhaqiiqotu ahwaalii alma’rifatu ro’sul

maalii” (HR. Anas bin Malik). Artinya : “Syari’at itu ucapanku, thoriqot itu perbuatanku,
hakikat itu keadaanku dan ma’rifat itu puncak kekayaan (batin
)”. (HR. Anas bin Malik).
Dari semua Thoriqot itu ada yang benar dan salah. Thoriqot yang benar disebut
Thoriqot Mu’tabaroh yaitu Thoriqot yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan
sanadnya atau silsilahnya sampai kepada Rasullulah, sedangkan Thoriqot yang salah
disebut Thoriqot Ghoyr Mu’tabaroh yaitu Thoriqot yang tidak saesuai dengan Al-Qur’an
dan Al-Hadits dan sanadnya atau silsilahnya tidak sampai kepada Rasullulah.

Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami berikan (istidroj) (Kemanjaan yang berangsur-angsur akan menarik ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui - Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh”.QS.al-A’raaf/182-183.

Kalau demikian maka timbul pertanyaan: “Apakah melaksanakan thoriqoh—di dalam agama Islam—bagi umat Islam, merupakan suatu keharusan atau kebutuhan ?”. Jawabannya :

1. Bagi orang yang sudah mengenal thoriqoh tetapi belum dapat merasakan hasilnya maka pelaksanaan thoriqoh itu merupakan suatu keharusan.

2. Bagi orang yang sudah menyadari akan keharusan untuk berthoriqoh, karena mereka sudah dapat merasakan hasilnya maka pelaksanaan thoriqoh itu adalah kebutuhan.

3. Bagi yang belum kenal sama sekali tentang ilmu thoriqoh, maka mereka wajib mengenalinya sebagai bentuk kewajiban bagi setiap pribadi muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Adapun yang dimaksud Thoriqoh, itu bias berarti hanya sekedar pengamalan ilmu dan iman, seperti melaksanakan sholat dhuha supaya rizkinya menjadi lapang atau membaca surat Waqi’ah yang diyakini dapat mendatangkan rizki umpamanya, dan bisa juga berarti melaksanakan thoriqoh secara

kelompok (jama’ah), seperti thoriqoh Qodiriyah wan Naqsyabandiyah atau kelompok thoriqoh yang

lainnya.

Orang mengerti dan percaya(iman) bahwa sholat dhuha dapat melapangkan rizki, kemudian mereka menjalankanya dengan dawam (istiqomah), dengan harapan (tujuan) supaya rizkinya mendapatkan

kelapangan dari Allah Ta’ala, maka pelaksanaan amal tersebut namanya thoriqoh (jalan). Yang demikian itu, supaya amal tersebut dapat menghasilkan kemanfaatan yang optimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, bagi orang yang sudah membutuhkan “hasil yang

diharapkan” dari pelaksanaan sholat dhuha tersebut, maka pelaksanaan sholat dhuha itu menjadi keharusan baginya. Sebab, tanpa pelaksanaan amal tersebut, tidak mungkin seseorang mendapatkan apa-apa yang diharapkan dari Allah Ta’ala.

Demikian pula orang yang melaksanakan thoriqoh secara berkelompok. Ketika mereka membutuhkan dari hasil thoriqoh yang dijalani tersebut, yakni cemerlangnya matahati supaya dapat

bermusyahadah kepada Allah Ta’ala, supaya dapat berma’rifat dan mencintaiNya, maka pelaksanaan thoriqoh baginya adalah keharusan. Mereka harus melaksanakan thoriqoh itu supaya apa-apa yang dicita-citakan dapat terwujud.

Adapun orang yang sadar akan keharusannya untuk melaksanakan thoriqoh. Karena mereka mengetahui bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan syari’at yang dimiliki supaya dapat mencapai hakikat yang diharapkan—menghasilkan keyakinan dari apa-apa yang sudah diimani dalam hatinya—hanyalah dengan jalan berthoriqoh, maka berthoriqoh merupakan kebutuhan yang mutlak baginya. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang tidak mengerti tentang thoriqoh saja, mereka tidak mengerti bahwa untuk mencapai segala harapan hidupnya harus dengan jalan amal—seperti sebuah pepatah mengatakan, tidak kenal maka tidak sayang—kadang-kadang malah mereka menolak berthoriqoh. Mereka menolak sesuatu yang seharusnya penting untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, ironisnya, mereka bahkan menganggap orang yang melaksanakan thoriqoh adalah kelompok yang berbuat bid’ah dan syirik. Akibatnya, orang yang demikian itu hidupnya selalu dalam keraguan. Sedikitpun mereka tidak mempunyai keyakinan, baik dalam bicaranya, amal perbuatannya dan juga prinsip-prinsip hidupnya.

Sebagian dari mereka bisanya hanya menyalahkan perilaku orang lain tanpa tahu bahwa jalan hidupnya sendiri sesungguhnya salah. Apakah orang dapat mencapai kepada yang diharapkan tanpa harus berusaha?, padahal semua orang memaklumi bahwa setiap usaha pasti ada jalannya, maka yang dimaksud “jalan usaha” itulah yang dinamakan thoriqoh. Rasulullah bersabda dalam satu haditsnya: “Syari’at itu adalah ucapanku, thoriqoh itu adalah perbuatanku dan hakikat itu adalah keadaan hatiku”.

Oleh karena itu, syari’at, thoriqoh dan hakikat seharusnya menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan dalam hidup manusia. Ilmu syari’at adalah ibarat bibit tumbuhan, pelaksanaan thoriqoh

dan mujahadah ibarat menanam bibit-bibit dan menggarap tanah, sedangkan ilmu laduni atau ma’rifatullah adalah buah yang setiap saat dapat dipetik dari tanaman yang sudah tumbuh subur:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) kelangit - pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”. QS.Ibrahim/24-25.

Walhasil, bagi orang yang mengenal dirinya sendiri, mengenal hak dan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya, mengenal kebutuhan hidupnya, mengenal tujuan hidup yang harus ditempuh dan dijalani, mengenal harus bagaimana dan untuk apa hidup dan mati ini diciptakan, mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang sudah dan akan dijalani, maka pelaksanaan thoriqoh—baik sebagai pelaksanaan ilmu dan iman maupun secara kelompok—adalah kewajiban dan sekaligus kebutuhan hidup yang harus dijalankan bagi setiap individu orang yang beriman, baik untuk keberhasilan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Orang yang demikian itu dinamakan orang yang “ma’rifatullah”, ma’rifat (mengenal) dirinyasendiri dan mengenal urusan Tuhannya.

Tujuan Thoriqot

Salah satu tujuan kita berthoriqoh, yaitu bagaimana kita mampu menyepuh karakter manusiawi kita yang kurang terpuji menjadi akhlakul karimah. Tanpa pencapaian tersebut berarti kita belum mampu menduduki maqom ‘kholifah Alloh di muka bumi’, berarti pula kita belum mendapatkan potensi untuk meneruskan pancaran do’a guru-guru mursyid kita kepada keluarga kita dan sesama ikhwan thoriqoh. Untuk tujuan inilah maka secara khusus seorang guru mursyid mengangkat imam-imam khususi. Jadi, kedudukan imam khususi itu ibarat talang untuk mengalirkan air (masyrob/minuman ruhaniah) yang dipancarkan guru mursyidnya untuk menyirami bibit yang sudah ditanamkan guru mursyid tersebut di dalam bumi ruhani murid-mirudnya. Secara khusus setiap khususi, air masyrob itu dialirkan oleh imam khususi kepada jamaah yang dipimpinnya. Demikian beratnya tugas seorang imam khususi, makanya imam khususi tersebut harus dipilih langsung oleh seorang guru mursyid. Karena hanya guru Mursyid yang tahu, apakah orang tersebut mempunyai kemampuan atau tidak.

Pencapaian karakter kholifah tersebut manakala sifat-sifat manusiawi yang bisa menyebabkan rasa pemusuhan dalam hati kita sudah tercabut sehingga hati kita mampu menebarkan rasa persaudaraan fillah. Artinya, mampu memandang musuh dan teman dalam porsi yang sama, sama-sama disayangai sebagaimana orang menyayangi saudara kandung sendiri. Itulah karakter surgawi yang digambarkan Alloh dalam firman-Nya: ”Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan”(QS.al-Hijr/47)
Jika orang berthoriqoh belum mampu mencapai hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada yang harus kita waspadai, barangkali di dalamnya masih terselip sifat hasud yang mematikan. Dari sifat hasud inilah yang akhirnya bercabang pinak menjadi kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa menyebabkan matahati kita menjadi buta dan mati. Wal Iyadzu Billah.

Ketika amaliah thoriqoh kita sudah menunjukkan tanda-tanda ada hasilnya, yakni hati kita sudah mulai ditumbuhi rasa cinta, terutama kepada guru-guru dan kepada sesama ikhwan. Untuk menguatkan pencapaian tersebut, maka ujian diadakan oleh Alloh. Sebagai tarbiyah azaliyah, kita dihadapkan dengan romantik fenomena yang terkadang tidak selalu menyenangkan hati kita. Alloh menegaskan sistem ujian ini dengan firman-Nya:”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? - Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.(QS.al-Ankabut/2-3).
Untuk efektifnya sistem tarbiyah Ilahiyah tersebut, maka tradisi ghosip mahal di kalangan kita itu memang harus ada. Namun demikian, jika kita tidak mampu menyikapi hal tersebut dengan arif, maka kita sendiri yang merugi, ndak pernah naik kelas tingkatan. Adapun para pelaku ghosip tersebut, kan itu saudara kita sendiri, seperti di dunia kalangan Maha Siswa itu lo, para senior kan mendapatkan kesempatan ‘melonco’ para uniornya. Meminjam istilah Gus Dur, gitu saja kok repot…….
Kalau ada pertanyaan: “Apakah orang yang suka menggosip itu tidak berdosa”. Jika hasil akhir dari perbuatan dosa tersebut berupa kebaikan, maka apa saja bentuknya berarti hakekatnya kebaikan, jika perbuatan tersebut mampu menjadikan orang menjadi baik, maka dia ikut mendapatkan bagian dari kebaikan tersebut. Seperti dokter itu lo, meski setiap hari pekerjaannya selalu menyakiti pasiennya dengan obat maupun injeksi, oleh karena tujuannya baik maka para Dokter itu mendapatkan penghargaan tinggi di masyarakat.

Untuk supaya kita selalu dapat menyikapi fonomena tersebut dengan pandangan positif, hal itu tentunya ada kunci rahasianya, yakni kita harus mampu selalu berkhusnudz-dzon kepada Alloh SWT. Maksudnya, apa saja yang sedang terjadi di hadapan kita, kita harus yakini bahwa itu merupakan kebaikan yang didatangkan Alloh untuk kita. Jika kita mengetrapkan perasaan seperti itu secara spontan belum mampu, maka fungsi khususi kita pergunakan. Dalam khususi itu perasaan yang tidak enak tersebut kita lebur dalam samudera rahasia kepedulian dan do’a-do’a guru Mursyid kita yang sudah kita yakini mampu mengobati penyakit hati kita. Kehilafan para ikhwan itu kita maafkan di hadapan Alloh serta kita mintakan ampunan kepada-Nya. Kita yakin bahwa mereka itu di akhirat nanti akan menjadi saudara kita yang abadi.
Itulah hakekat mujahadah di jalan Alloh. Hasil dari mujahadah tersebut, awalnya terkadang terjadi gejolak dalam dada kita, ada perasaan panas dingin yang membakar hamparan isi dada kita. Itulah bentuk proses pembakaran hijab yang menyelimuti langit dada seorang hamba yang sedang menempa jiwa di Kawa Candradimuka.
Ketika proses pembakaran itu menunjukan hasilnya, maka seketika hamparan dada kita menjadi lapang, karena saat itu nur Alloh telah didatangkan sehingga yang asalnya samar menjadi cetto welo-welo, yang asalnya tidak faham menjadi faham. Jika gejala ini sudah bisa kita rasakan, maka kita wajib bersyukur, karena itu merupakan pertanda bahwa perjalanan panjang dan melelahkan itu sudah menampakkan buahnya. Jika anda tahu rahasia ini maka anda akan yakin bahwa tradisi ghosip itu memang kita butuhkan dalam komunitas kita. Silahkan mencoba, menjadi tukang ghosip atau yang dighosipi, he he he.

Maaf ya teman-teman, barangkali saya ini Cuma ‘jarkoni’, bisa ujar tapi belum bisa ngelakoni. Tetapi ini adalah ilmu pengetahuan, jika kita jadikan tuntunan dan kita bersungguh-sungguh dalam mengetrapkan, insya Alloh pertolongan akan didatangkan. Sepanjang kesempatan masih terbuka, maka kita wajib menempa jiwa. Batasnya adalah pintu kematian, semoga kita menemukan kebahagian di sana. Amin Ya Rabbal Alamiin, (Malfiali).

Mengenal Ma'rifattullah


TATKALA RAHASIA TERUNGKAP
“Semuanya akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. (QS,Ar Rahmaan : 26-28)
Ketika hati mulai bercahaya, ketika jiwa mulai merasakan, ketika akal silau dengan pancaran Nur Nya ; saat itu lidah terasa kelu untuk bersuara, perasaan hati lenyap entah kemana, raga hampir-hampir tak berdaya bahkan jiwa gaib di dalam kegaiban Tuhannya.
Samudra Ahadiyah Allah Ta’ala telah menghanyutkan dirinya menghempaskan batinnya pada karang-karang kerinduan dan membawanya kepada sebuah pulau keikhlasan tertinggi.
Mereka-mereka yang telah sampai pada keikhlasan tertinggi itu telah melepaskan segala sesuatunya, apa saja baik dirinya zahir batin maupun yang diluar dirinya. Pandangan Syuhudnya hanya lah Allah Swt, di dalam pandangan yang tiada jarak dan tiada antara.
Telah dilewatinya Pos-pos jiwa mulai dari Pos Ruhani sanpai kepada Pos Ruh Idhofi. Disini baginya sesuatu yang berpasangan telah lenyap dari pengetahuan di dirinya. Tiada lagi kata serba dua apalagi banyak pada pandangan batinnya. Mursyid yang menyampaikan dirinya kepada Tuhannya pun sudah tidak terpandang lagi. Baginya mursyid dan murid itu satu! Yang dikatakan Mursyid, itulah Murid ; dan yang dikatakan Murid, itulah Mursyid. Batinnya satu dengan Mursyidnya, sehingga dia juga yang disebut Mursyid dan dia jugalah yang disebut Murid. Jika Mursyid dan Murid sudah satu dalam pandangan Batinnya, dimanakah Mursyid? Dan dimanakah Murid?
Tentu! Jika sudah Satu meliputi maka tidak ada lagi Mursyid dan tidak ada lagi Murid, yang ada hanyalah Penguasa yang menguasai Mursyid dan Murid, Dialah Allahu Robbul ‘Alamin.
Itulah maqom keikhlasan tertinggi dimana pada maqom itu ia tidak terikat oleh sesuatu lagi, tidak membangga-banggakan akan sesuatu lagi dan tidak menonjolkan akan sesuatu lagi.
Kemerdekaan dan kemandirian bersama Tuhannya telah mengisi kekosongan jiwanya, sehingga kemana saja ia pergi, dimana saja ia berada tidak ada yang ada hanya Allah Swt meliputi disetiap gerak dan diamnya.
Pada Maqom Keikhlasan tertinggi itu Allah telah mendudukan ia pada posisi “DARKATUL QUDRAT”, karena ia telah berhasil melewati tahapan ke “AKU” an didirinya.
DARKATUL QUDRAT adalah ibarat Halaman Istana Kerajaan Allah Ta’ala.
Jika ke “AKU “an dirinya saja sudah lenyap/Fana dari pandangan, bukankah segala yang di luar dari dirinya juga akan lenyap/Fana?
Apabila mereka yang mengaku telah benar-benar sampai kepada Tuhannya, tentu sudah seharusnya ia tidak bersandar lagi kepada sesuatu.
Jika masih bersandar akan sesuatu sedangkan ia menyatakan telah sampai kepada Maqom Robbani, maka sesungguhnya ia belumlah sampai dengan sebenar-benarnya sampai. Pada saat itu ia masih sampai sebatas Ilmu dan rasa tetapi belum lagi sampai kepada yang punya Ilmu dan rasa.
Sayyidina Ali bin Abi Tholib r.a Karamallahu Wajhah berkata :
“Tidak Syah Sholat seseorang melainkan dengan Mengenal akan Allah”.

Di dalam perjalanan Ma’rifatullah/Mengenal akan Allah maka di mulai dengan Mengenal akan Diri sendiri (Diri yang sebenar-benarnya Diri). Sebab diri yang dikatakan sebenar-benarnya diri itu, yang memiliki hubungan langsung dengan Tuhannya. Tentu bagi mereka yang sudah paham tentang Ma’rifat telah mengetahui yang mana sih…., diri yang harus di kenal itu.
Akan tetapi dari mereka-mereka yang telah kenal akan diri banyak yang tidak menyadari bahwasannya apa yang telah dilaluinya/diketahuinya itu masih sebatas Kulit dalam pandangan Arifbillah.
Kenapa demikian..? karena diri yang banyak diketahui oleh sebagian penuntut Ma’rifatullah itu masih terbatas kepada diri yang ada pada dirinya sendiri. Dan ada juga yang terbatas pada pandangannya kepada orang yang diistimewakan dan diagungkannya.
Sedangkan Ma’rifat yang sebenarnya dan sesempurna-sesempurnanya adalah Ma’rifat yang Universal, tidak ada batasanya dan tidak terbatasi oleh diri sendiri saja maupun orang tertentu saja.
Setiap orang yang berada di dalam lingkaran Ma’rifat merujuk kepada Sumber Pengetahuan Allah/Sumber Hakikatullah yang di sebut dengan “Nur Muhammad”, sebagaimana dalil yang telah dipahami oleh mereka-mereka yang ber paham Ma’rifat bahwa “Nur Muhammad” itu awal-awal dari segala sesuatu. Dengan Nur itu maka terciptalah Seluruh sekalian Alam beserta isinya.
Rosulullah Saw bersabda :
“Bahwasannya Allah Swt telah menjadikan akan Ruh-ku daripada Zat-Nya sedangkan sekalian Alam beserta isinya terbit dari pada Nur-ku (Nur Muhammad)”.
Sabda Rosulullah Saw yang lain :
“Sesungguhnya Aku adalah Bapak sekalian Ruh sedangkan Adam adalah Bapak dari sekalian batang tubuh (Jasad)”.
Dari dalil tersebut telah menguraikan bahwa Hakikat Nur Muhammad itu tidak hanya ada pada satu diri saja melainkan ada pada setiap yang maujud. Sehingga tak terbatas bagi Nur Muhamad itu, melainkan meliputi sekalian Alam termasuk pada diri sendiri.
Jika seseorang mengenal akan Allah melalui Nur-Nya (Nur Muhammad) yang ada pada dirinya sendiri maka belum lah dikatakan mengenal akan Allah yang meliputi sekalian Alam. Begitu juga jika seseorang mengenal akan Allah melalui Nur-Nya (Nur Muhammad) yang ada hanya pada orang-orang tertentu yang diistimewakannnya dan diagungkannya dari diri Ustadz-ustadznya, Guru-gurunya, Syaikhnya ataupun Mursyidnya maka sesungguhnya ia masih terhijab oleh yang sesuatu yang dipandangnya.
Rumus dari pada Ma’rifatulah yang sebenarnya dan Universal itu adalah :
“Syuhudul Wahdah Fil Katsroh, Syuhudul Katsroh Fil Wahdah”.
(Memandang yang Satu (Nur) ada pada yang banyak, memandang yang banyak ada pada yang Satu).
Saya katakan bahwa seseorang yang mengenal Allah sebatas pandanganya kepada dirinya sendiri atau orang tertentu yang diistimewakan dan diagungkannya maka mereka itu mengenal akan Allah masih sebatas Kulit saja dari pemahaman Marifatullah yang sesungguhnya.
Jika demikian!, bagaimana mungkin ia akan sampai kepada keikhlasan tertinggi dan bagaimana mungkin ia mengatakan telah bertemu dengan Allah sedangan di halaman Istana Allah saja (DARKATUL QUDRAT) ia belum memasukinya, karena masih terdinding/terhijab pandangannya dari sesuatu selain Allah Swt (HAQQUL HAQIQI).
Jika anda benar-benar ingin menjumpai Allah dan bertemu dengan Allah (LIQO’) maka lepaskanlah pandangan hatimu dari sesuatu apapun. Jangan berhenti pada pandangan JAMALULLAH/ KEINDAHAN ALLAH maka niscaya engkau akan mabuk dan takjub di dalamnya.
Pandanganmu akan Hakikat Nur yang ada hanya pada dirimu saja atau yang ada hanya pada orang yang engkau kagumi dan istemawakan saja membuktikan bahwa tanpa engkau sadari engkau telah tenggelam dan mabuk di dalam sifat JAMALULLAH/KEINDAHAN ALLAH.
Ketahuilah! Bahwa untuk sampai kepada Allah Swt dengan melalui EMPAT tahapan, yaitu :
JALALULLAH (Kebesaran dan Keagungan Allah)
JAMALULLAH (Keindahan Allah)
QOHARULLAH (Kekerasan/Kepastian Allah)
KAMALULLAH (Kesempurna’an Allah)
Untuk bisa menaiki tahapan-tahapan tsb agar sampai kepada KAMALULLAH (KESEMPURNAAN ALLAH), maka wajib baginya Satu Pandangan yaitu Allah Swt tanpa melalui perantara selain Nur Muhammad. Sedangkan Nur Muhammad itu meliputi setiap yang Maujud termasuk pada diri sendiri.
Sehingga yang dikatakan sebenar-benarnya Guru/Mursyid Murobbi adalah Nur Muhammad Rosulullah Saw sebagai pemegang Kunci Pintu Surga/MIFTAHUL JANNAH.
Siapapun mereka itu, jika Satu yang di pandang yaitu Allah Swt, melalui Hakikat Nur Muhammad yang meliputi sekalian Alam maka tidak ada sebutan yang pantas baginya selain “ARIFBILLAH”.
Jika masih ada pandangan yang terbatas atau dibatasi tentang Hakikat Nur Muhammad itu pada beberapa diri saja maka belumlah pantas baginya menyandang sebutan “ARIFBILLAH” melainkan mereka itu masih di sebut dengan orang yang berada pada “TARIKAT/Perjalanan” menuju kepada Allah.
Mursyid Murobbi tidak hanya ada pada satu diri
Melainkan Meliputi setiap “Kaun Maujudi”
Siapa yang sanggup mematikan Diri
Itulah Langkah Awal menuju Diri Sejati
Jangan tertipu dengan apa yang dipandang
Karena semuanya hanyalah bayang-bayang
Tidak terpisah Al-Haq dengan selayang pandang
Tujulah kepada satu yang ada di dalam pandang
Belumlah dikatakan sebenar-benarnya mengenal
Sebelum engkau mengerti JALAL, JAMAL, QOHAR DAN KAMAL
Empat sifat yang maujud dan Nyata pada Nur-Nya
Alif itu menunjukkan akan Zat-Nya
Lam Awal adalah ketetapan Sifat-Nya
Lam Akhir kenyataan Asma’Nya
Sedangkan Ha adalah bukti dari Af’al-Nya
Kesempurnaan Allah dalam keserba meliputannya
Pada Muhammad Rosulullah segala rahasianya
Sebagai inti dasar dari sekalian alam
Menjadi saksi kemaujudannya
Alif adalah jati diri Muhammad
Kaf itu adalah Ilmu Muhammad
Ba’ adalah Kelakuan Muhammad
Ro’ itu kehendak pada diri Muhammad
Dari situlah Maha Agung Allah Ta’ala
Dalam keserba meliputan sekalian Alam
Allah dan Muhammad satu Rahasia
Menjadi Kalimah ALLAH dan AKBAR

(Pengembara Jiwa)