Selasa, 16 Desember 2008

Tazkiyatun nafs/Penyucian Hati 1

DZIKIR

Kalau perjalanan sang musafir malam tidak terfasilitasi. Tidak ada inayah azaliyah yang menyinari sehingga banyak rintangan yang menghalangi. Berarti di dalam hati musafir itu masih banyak hijab-hijab basyariyah yang menyelimuti, baik hijab dosa maupun hijab karakter yang tidak terpuji, maka terlebih dahulu sang musafir

harus berbenah diri. Dengan merampungkan dua tahapan amal yang harus dilewati. Dengan amal itu, perjalanan berikutnya diharapkan menda-patkan fasilitas yang sudah menanti. Benah-benah diri itu dilaksanakan di dalam dua hal:

1. Melaksanakan at-Tazkiyah atau mensucikan jiwanya dari segala kotoran basyariyah. Sebagaimana yang telah dinyatakan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

"Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri * Dan ingat nama Tuhannya, lalu sembahyang* ". QS.al-

A’laa.87/14-17.

Yang dimaksud At-Tazkiyah ialah : melaksanakan pembersihan dan pensucian diri dari segala kotoran-kotoran

basyariyah, baik yang berupa dosa-dosa maupun sifat-sifat yang tercela dengan melaksanakan tiga tingkat tahapan amal sholeh sebagai perwujudan ibadah yang ikhlas kepada Allah SWT.

Tingkat pertama: Dengan melak-sanakan ibadah secara keseluruhan, baik puasa maupun sholat malamnya, dengan mujahadah maupun riyadhohnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Ibadah itu dilaksanakannya semata-mata hanya bersungguhsungguh untuk meng-hapus atau menghilangkan kotoran dan karat yang menempel di dalam hati, baik dari kotoran dosa maupun sifat-sifat yang tidak terpuji.

Tingkat kedua: Setelah seorang hamba merampungkan tazkiyahnya, baru selanjutnya ia akan mampu menghadirkan ma'rifatullah di dalam hati, akan Dzat-Nya, akan Sifat-Nya, akan Nama-nama-Nya dan akan Pekerjaan-pekerjaan-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya: “Wadzakarosma Robbihii" (Kemudian dzikir dengan menyebut nama Tuhannya).

Karena tidak mungkin seseorang mampu menyebut Nama-Nya di dalam hati kecuali sesudah terlebih dahulu mengenali-Nya.

Tingkat ketiga: Setelah merampungkan dua tahapan itu, menjadikan seorang hamba akan selalu sibuk dengan pengabdian yang hakiki. Yaitu, seluruh waktunya dima'murkan hanya untuk melaksanakan keta'atan kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya: “Fasholla" (kemudian melaksanakan Sholat). Karena sholat adalah pokok segala ibadah, kalau sholatnya baik, berarti seluruh amal ibadahnya juga akan baik.

2. Ibadah yang dilaksanakan hendaklah mendapat bimbingan seorang guru ahlinya. Guru mursyid thoriqoh yang suci lagi mulia. Baik secara maknawiyah maupun hissiyah, baik secara dhohir maupun batin. Sehingga dengan ibadah itu seorang hamba benar-benar sampai kepada Allah Ta’ala. Menjadikan hatinya menjadi khusu’ kepada-Nya. Karena hanya Allah Ta’ala tujuan yang paling utama. Ibadah yang dilakukan itu mampu menghantarkan ruhaniyah seorang hamba mengadakan mi’roj untuk memasuki alam malakut. Bersimpuh di hadapan Tuhannya untuk bermusya-hadah dah bermujalasah di permadani haribaan-Nya, Adalah perjalanan ruhaniyah yang akan mampu membentuk hati seorang hamba menjadi khusu’ hanya kepada Allah Ta’ala. Karena dengan perjalanan itu ruhani sang pengembara dapat merasakan kenikmatan ruhaniyah yang tiada tara, sehingga sejak itu hatinya telah dapat merasakan kepalsuan kehidupan duniawi yang fana yang selanjutnya menjadikan hati itu tidak lagi cenderung hanya memikirkan dan mencari kehidupan duniawi saja.

Apabila dengan ibadah yang seperti itu, seorang hamba diibaratkan memasuki sebuah rumah. Artinya dengan ibadah dhohir yang dilakukan itu bagaimana supaya seorang hamba mampu memasuki alam batin atau alam ruhaniyah, maka mestinya dia harus dapat memasuki rumah itu melalui pintu-pintu yang tersedia. Allah telah mengisyaratkan hal itu dengan firman-Nya:

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. QS.al-Baqoroh.2/189.

Itulah yang dimaksud penyatuan antara qodo’ dan qodar dalam satu amal. Menyatukan konsep langit dan konsep bumi dalam satu pelaksanaan karya nyata secara rasional. Masuk dan keluar dari satu pintu menuju dua dimensi yang berbeda dengan benar. Dimensi jasmani dan dimensi ruhani. Karena dari pintu ruhani yang qodim itu dahulu manusia telah meninggalkan rumahnya yang hakiki di alam ruhani memasuki rumah yang fana di dunia. Kalau tidak demikian, apabila penyatuan antara qodo’ dan qodar dalam kesatuan amal ibadah itu tidak dapat terwujud dengan benar, maka boleh jadi sebuah amal akan terputus dari jalan yang sesungguhnya, yaitu jalan inayah Allah yang azaliyah. Akibatnya, boleh jadi yang akan dihasilkan amal ibadah itu hanyalah pengakuan pribadi. Bahwa dirinya telah mampu berbuat amal bakti. Bahwa dirinya telah mampu menciptakan karya utama. Selanjutnya, manusia akan cenderung terjebak dengan sifat sombong yang membabi buta, yang kemudian syetan akan menambah kesombongan itu dan kesesatan yang akhirnya manusia akan cenderung terjerumus masuk ke jurang neraka. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari tipudaya nafsu dan syetan yang terkutuk.

Kamis, 11 Desember 2008

Kh.Romly Tamim

Kyai Romly Tamim
Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.

Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak dikaruniai keturunan.

Seusai pengabdiannya di Tebu Ireng dan setelah merasa gagal pada perkawinan pertama beliau nikah lagi dengan putri desa besuk Jombang yang bernama Nyi Maisyaroh. Perkawinan ini menghasilkan putra Ishomuddin yang telah kembali ke Rahmatullah dan Musta’in Romly. Sepeninggal Nyi Maisaroh belaiau nikah dengan Nyi Khodijah hingga berputra : A. Rifa’I, Sonhaji, A. Dimyati, Moh Damam Hury dan Tamim.

Diakhir hayatnya beliau sebagai Al – mursyid Thoriqot Qodiriyah Wannaqsabandiyah menggantikan kedudukan KH Cholil selama perjalanan hidup ia sempat menulisdan menyususn buku – buku pegangan Thoriqot antara lain Risalatul Waqiah, Risalah Solawat Nariyah dan Tsamratul Fikriyah. Allah SWT memanggil kembali ke alam sana pada 16 Romadhon 1377 atau 16 April 1958.


Rabu, 03 Desember 2008

Khalil Bangkalan Madura

Muhammad Khalil Al Maduri (1235 - 1341 H / 1820 - 1923 M)

Ulama besar yang digelar oleh para kiyai sebagai “syaikhuna” yakni guru kami, kerna kebanyakan kiyai-kiyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Kiyai Kholil bin Kiyai ‘Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai ‘Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asral Karamah bin Kiyai ‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu kepada Sunan Gunung Jati. Kiyai Kholil dilahirkan pada hari Selasa, 11 Jamadil Akhir 1235 di Bangkalan, Madura.

Dari kecil, kecintaannya kepada ilmu telah terserlah. Selain menghafal al-Quran, beliau sejak kecil telah hafal 1000 bait nazam Alfiyyah Ibnu Malik. Bahkan, beliau amat menitik beratkan pelajaran nahwu sehingga santri-santri beliau tidak akan dibenarkan menamatkan pengajian dan pulang ke kampung jika belum hafal Alfiyyah. Justru, setiap santri yang mohon untuk pulang, terlebih dahulu diuji hafalan Alfiyyahnya, jika belum hafal maka jangan harap diizinkan pulang. Begitulah penekanan yang beliau berikan kepada ilmu nahwu yang merupakan antara ilmu alat yang terpenting. Kelemahan dalam ilmu ini akan membawa kepada lemahnya memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, maka wajar sekali jika Embah Kholil memberikan penekanan terhadap ilmu ini.

Selain ilmu nahwu, beliau turut menguasai ilmu fiqh terutama sekali fiqh Syafi’i, tafsir, qiraah dan juga tasawwuf dan thoriqah. Beliau menghafal al-Quran dan menguasai segala ilmu berhubungan dengannya termasuklah menguasai qiraatus sab’ah. Beliau menimba pengetahuannya daripada ramai ulama seperti Kiyai Muhammad Nur dan di berbagai pesantren antaranya Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Cangaan Bangil, Pesantren Keboncandi Pasuruan dan Pesantren Banyuwangi. Setelah itu, beliau berangkat ke Makkah al-Mukarramah untuk menimba ilmu di sana. Sewaktu nyantri, beliau tidak mengharapkan biaya daripada orang tuanya, bahkan beliau menampung biayanya sendiri dengan melakukan berbagai pekerjaan di samping belajar.

Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.
Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H. Selain meninggalkan ramai santri yang menjadi ulama dan kiyai besar, beliau turut meninggalkan beberapa karangan antaranya “ash-Shilah fi bayanin nikah” dan “al-Matnusy-Syarif“. Moga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan kasih-sayangNya kepada Embah Kiyai Kholil serta para leluhurnya juga sekalian ulama dan umat yang mentawhidkan Allah s.w.t. .. al-Fatihah.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para muridnya itu adalah KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama), KH Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang), dan KH As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.

Jumat, 28 November 2008

Profil Ahli Sufi

SYEKH ABDUL QODIR AL JAELANI

Syekh Abdur Qadir Jailani adalah adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Diantara tulisan beliau antara lain kitab Al-Fathu Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat beliau tercatat tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih . Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan dari Ali bin Abi Talib. Nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.

Jumlah karomah yang dimiliki oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani banyak sekali:
Syaikh Abil AbbasAhmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majlis asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani berserta
murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan asy-Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang langgang, ketakutan. Tetapi asy-Syaikh al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju asy-Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular
itu telah naik pula ke lehernya. Namun, asy-Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan asy-Syaikh dan ia telah seperti bicara dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani tentang apa yang telah dipertuturkan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan
seorang pun yang setenang dan sehebat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani .
Pada suatu hari, ketika asy-Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majlis, seekor burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi yang telah mengganggu majlis itu. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu telah
jatuh ke atas majlis itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.
Setelah melihat keadaan burung itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung itu telah hidup kembali dan
terus terbang dari tangan asy-Syaikh.
Maka takjublah para hadirin di majlis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkanNya melalui tangan asy-Syaikh.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di dalam tahun 537 Hijrah,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan asy-Syaikh Jilani, berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh
seorang jin. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin,
dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak
perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir
Al-Jilani itu. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu telah datang bergilir-gilir, yakni satu kumpulan selepas satu kumpulan. Dan akhirnya, Datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan telah bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu telah menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu telah turun dari kudanya dan terus mengucup bumi. Kemudian raja jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah
dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau
sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu yang dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu pula telah memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu pula telah dikenakan hukuman pancung kepala. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani boleh melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat.
Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita asy-Syaikh Abi ‘Umar ‘Uthman dan asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul Haqq al-Huraimy: Pada 3 hari bulan Safar, kami berada di sisi asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani Pada waktu itu, asy-Syaikh sedang mengambil wudu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan solat dua rakaat, dia telah bertempik dengan
tiba-tiba, dan telah melemparkan salah satu dari terompah-terompah itu dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Selepas itu, dia telah bertempik sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, telah melihat dengan ketakjubannya, tetapi tidak ada seorang pun yang telah berani menanyakan maksud
semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah datang untuk menziarahi asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilany. Mereka (yakni para anggota kafilah itu) telah membawa hadiah-hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Apabila kami amat-amati, kami lihat terompah-terompah itu adalah terompah-terompah yang pernah dipakai oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pada satu masa dahulu. Kami pun bertanya kepada ahli-ahli kafilah
itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu. Inilah cerita mereka:
Pada 3 haribulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami telah
diserang oleh satu kumpulan perompak. Mereka telah merampas kesemua barang-barang kami dan telah membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Kami pun berbincang sesama sendiri dan telah
mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami sudah selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami terdengar satu jeritan yang amat
kuat, sehingga menggegarkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang sedang melayang dengan sangat laju sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu lagi benda seumpama tadi yang sedang melayang ke arah yang sama. Selepas itu, kami telah melihat perompak-perompak
itu berlari lintang-pukang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu dan telah meminta kami mengambil balik harta kami,karena mereka telah ditimpa satu kecelakaan. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka pula, ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.
Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku
di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan
malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia. Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan
menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh
tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah.
Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad , aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
Telah bercerita asy-Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan
mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, isteri-isteri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah bertemu dengannya dan telah berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda
menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan,namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi
jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu
berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman ( Surat al-adid, ayat 20):
“dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.
Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah
berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”
Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas
daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada Allah, Pengatur sekelian alam.”


Syeikh Muhammad Bahauddin An Naqsabandi

Syeikh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi adalah seorang wali qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Tariqah Naqsyabandiyah sebuah tariqah yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.


Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.

Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.

Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.

Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.

Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”

Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.

Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :

1. Istiqomah mengukuhkan syariat.
2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.

Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.

Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.

Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”…

Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.

Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.

Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.

Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.

Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika. Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.

Nasehat Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandy
1. Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.
2. Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari Allah.
3. Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.

4 Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.
5 Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
6 Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
7 Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri bisa mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash dan yang benar.
8 Siapa jua yang menziarahi kami tanpa memperolehi faedah yang mereka perlukan dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang ingin mendengar daripada kami, kami tidak mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan. Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa menganggapnya remeh, akan diberikan tambahan. Siapa pula yang tidak dapat menerima apa yang telah diberikan di sini, tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di mana-mana pun jua tempatnya.

Ingatkah engkau kepada kisah seorang manusia yang meminta dirham (duit perak), tetapi dia telah diberikan dinar (duit emas), karena tidak ada dirham untuk diberikan kepadanya? Dia telah berkata, “Apalah gunanya benda ini? Aku tidak boleh membelanjakannya. Ini bukan dirham!”.
9 Dari satu segi, setiap Insan Kamil itu adalah sama. Ini berarti yang apabila si murid sudah benar-benar sealiran dengan usaha tarekat ini, dia boleh berkomuniksai dengan para masayaikh terdahulu, sebagaimana mereka sendiri sering berkomuniksai sesama sendiri, menempuh jarak masa dan tempat.
10 Tugas-tugas dan amalan-amalan sebuah tarekat membentuk satu unit. Kebenaran, cara mengajar dan para murid, membentuk rupa satu tangan, yang tidak dapat dilihat oleh si jahil. Karena dia hanya melihat ketidaksamaan jari-jari, dia tidak dapat melihat kepada pergerakan padu dari tangan itu (yakni pergerakan tangan sebagai satu entitas, sebenarnya terjadi dari pergerakan bersaingan tetapi berpadu dari jari-jari tangan itu)..

Syeikh Abu Yazid Al Bustomi

Assalamu'alaikum,
Ada seorang pemuda Arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan dia mampu mendalaminya. Selain belajar, dia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, dia berkenalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah s.w.t. memberinya hidayah masuk Islam.

Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar dia turut masuk ke dalam gereja. Mula mula dia keberatan, namun karena desakan akhirnya pemuda itu pun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka.

Ketika paderi masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk. Di saat itu, si paderi agak terbeliak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, "Di tengah kita ada seorang Muslim. Aku harap dia keluar dari sini."
Pemuda Arab itu tidak bergerak dari tempatnya. Paderi tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun dia tetap tidak bergerak dari tempatnya. Hingga akhirnya paderi itu berkata, "Aku minta dia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya." Barulah pemuda ini beranjak keluar.

Di ambang pintu, pemuda bertanya kepada sang paderi, "Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang Muslim?"
Paderi itu menjawab, "Dari tanda yang terdapat di wajahmu."
Kemudian dia beranjak hendak keluar. Namun, paderi ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memalukan pemuda tersebut dan sekaligus mengukuhkan ugamanya. Pemuda Muslim itupun menerima tentangan debat tersebut.
Paderi berkata, "Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat."

Si pemuda tersenyum dan berkata, "Silakan!"
Sang paderi pun mulai bertanya, "Sebutkan satu yang tiada duanya, dua yang tiada tiganya, tiga yang tiada empatnya, empat yang tiada limanya, lima yang tiada enamnya, enam yang tiada tujuhnya, tujuh yang tiada delapannya, delapan yang tiada sembilannya, sembilan yang tiada sepuluhnya, sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh, sebelas yang tiada dua belasnya, dua belas yang tiada tiga belasnya, tiga belas yang tiada empat belasnya."

"Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh! Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya? Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu!"
"Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diazab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api? Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diazab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu?"

"Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar! Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?"
Mendengar pertanyaan tersebut, pemuda itu tersenyum dengan keyakinan kepada Allah.
Setelah membaca Basmalah dia berkata,
-Satu yang tiada duanya ialah Allah s.w.t..
-Dua yang tiada tiganya ialah Malam dan Siang. Allah s.w.t. berfirman, "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami)."(Al-Isra': 12).
-Tiga yang tiada empatnya adalah kesilapan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.
-Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur'an.
-Lima yang tiada enamnya ialah Solat lima waktu.
-Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah Hari ketika Allah s.w.t. menciptakan makhluk.
-Tujuh yang tiada delapannya ialah Langit yang tujuh lapis. Allah s.w.t. berfirman, "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang." (Al-Mulk: 3).
-Delapan yang tiada sembilannya ialah Malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah s.w.t. berfirman, "Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat men-junjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka." (Al-Haqah: 17).
-Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa yaitu: tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang.*
-Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah Kebaikan. Allah s.w.t. berfirman, "Barang siapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat." (Al-An'am: 160).
-Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah Saudara-Saudara Nabi Yusuf .
-Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah Mu'jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air." (Al-Baqarah: 60).
-Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah Saudara Nabi Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.
-Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Subuh. Allah s.w.t. ber-firman, "Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing." (At-Takwir: 18).
-Kuburan yang membawa isinya adalah Ikan yang menelan Nabi Yunus AS.
-Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Nabi Yusuf , yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlumba-lumba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala." Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, " tak ada cercaan terhadap kamu semua." Dan ayah mereka Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yusuf:98)
-Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara Keledai. Allah s.w.t. berfirman, "Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai." (Luqman: 19).
-Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapa dan ibu adalah Nabi Adam, Malaikat, Unta Nabi Shalih dan Kambing Nabi Ibrahim.
-Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diazab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah s.w.t. berfirman, "Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim." (Al-Anbiya': 69).
-Makhluk yang terbuat dari batu adalah Unta Nabi Shalih, yang diazab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ashabul Kahfi (penghuni gua).
-Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah Tipu Daya wanita, sebagaimana firman Allah s.w.t.? "Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar." (Yusuf: 28).
-Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah Tahun, Ranting adalah Bulan, Daun adalah Hari dan Buahnya adalah Solat yang lima waktu, Tiga dikerjakan di malam hari dan Dua di siang hari.
Paderi dan para hadirin merasa takjub mendengar jawapan pemuda Muslim tersebut. Kemudian dia pun mula hendak pergi. Namun dia mengurungkan niatnya dan meminta kepada paderi agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh paderi.
Pemuda ini berkata, "Apakah kunci surga itu?" mendengar pertanyaan itu lidah paderi menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rupa wajahnya pun berubah. Dia berusaha menyembunyikan kekuatirannya, namun tidak berhasil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun dia cuba mengelak.
Mereka berkata, "Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya dia jawab, sementara dia hanya memberi cuma satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!"
Paderi tersebut berkata, "Sesungguh aku tahu jawapannya, namun aku takut kalian marah."
Mereka menjawab, "Kami akan jamin keselamatan anda. "
Paderi pun berkata, "Jawapannya ialah: Asyhadu An La Ilaha Illallah Wa Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah."
Lantas paderi dan orang-orang yang hadir di gereja itu terus memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda Muslim yang bertakwa ( Abu Yazid Al-Bustomi).**

Imam Junaid Al Baghdadi

Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan memperbahaskan tentang ilmu tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasauf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.

Imam Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana sesetengah peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.

Waktu perniagaannya sering disingkatkan seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak muridnya yang dahagakan ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah Imam Junaid akan menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti solat, membaca al-Quran dan berzikir.

Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Ramai penduduk Baghdad datang masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.

Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikurniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.

Beliau akan membahagi-bahagikan sebahagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.
Bertasauf Ikut Sunnah Rasulullah saw
Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah. Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata:
“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Sesiapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan ikutan dalam bidang tasauf ini.”

Memiliki Beberapa Kelebihan dan Karamah

Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Antaranya ialah berpengaruh kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri daripada orang-orang biasa malah semua golongan meminatinya.

Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli fekah, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.

Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik

Setiap insan yang ingin mencapai keredhaan Allah selalunya menerima ujian dan cabaran. Imam Junaid menerima ujian daripada beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan imej Imam Junaid.

Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.

Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang boleh memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.

Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh sesiapa. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.

Khalifah yang mendapat tahu kematian wanita itu telah memarahi Imam Junaid kerana menganggapnya sebagai suatu perbuatan jenayah.

Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.

“Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.

Wafatnya

Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, seorang daripada muridnya.

Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”

Senin, 10 November 2008

Al Hikam

SYARAH HIKAM BAB 7 (Terbukanya Matahati Menuju Ma’rifatullah)

TERBUKANYA MATAHATI MENUJU MA’RIFATULLAH

اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَلِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالأَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ , وَاَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ .

Apabila Allah berkehendak membukakan wijhah hatimu untuk menerima ma’rifat, maka tidak peduli lagi walau amalmu sedikit. Karena bila Allah membuka hatimu semata-mata karena berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepadamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya ma’rifat itu didatangkan untukmu dan amalmu adalah persembahan untuk-Nya, mana yang lebih tinggi nilainya bagimu, apa yang datang darimu atau apa yang didatangkan kepadamu?.


Wijhah merupakan anugerah Allah s.w.t kepada seorang hamba yang letaknya di dalam hati sanubari. Meski didatangkan sebagai buah ibadah, namun datangnya wijjah tersebut semata-mata kehendak azaliah bukan karena ibadah yang dilakukan itu. Dengan wijhah, seorang hamba dapat melaksanakan tawajjuh (menghadap dan wushul) kepada Allah s.w.t. dengan benar. Yang dimaksud tawajjuh sebagaimana yang dinyatakan Allah s.w.t dalam firman-Nya berikut ini:

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya aku menghadapkan hadapanku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak menoleh kepada yang selain-Nya (hanifa) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan”. (QS. al-An’am; 6/79)

Dengan wijhah itu pula seorang hamba mendapatkan kemuliaan dan kedekatan di sisi Tuhannya: “Seorang terkemuka (mempunyai wijhah) di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran; 45) Namun hal tersebut bisa terjadi manakala pintu wijhah itu sudah dibuka (di dalam hati), atau seorang hamba telah mendapatkan futuh dari Tuhannya, dengan itu maka dia akan berma’rifat dengan-Nya.

Ma’rifat artinya mengenal dan yang dimaksud adalah mengenal Allah s.w.t (ma’rifatullah). Orang yang ma’rifatullah adalah orang yang kenal kepada Allah s.w.t. Kenal kepada nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, kekuasaan dan pengaturan-Nya, akhlak dan perbuatan-Nya. Kenal, baik secara rasional (teori ilmiah) maupun secara spiritual (perasaan dalam hati). Namun yang dimaksud ma’rifatullah adalah kenal secara spiritual.

Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba yang bertakwa kepada Tuhannya. Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba sanggup berbuat benar (shiddiq) dan tidak salah di hadapan Tuhannya. Yang demikian itu, karena ia tahu apa yang dikehendaki Allah s.w.t untuk dirinya.

Semakin seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, maka ia akan menjadi semakin mencintai-Nya karena ia semakin mengetahui dan semakin merasakan, bahwa Allah s.w.t sudah berbuat kebaikan yang sangat banyak kepada dirinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS. Al- Qoshosh; 77)

Semakin seorang hamba mencintai Tuhannya, semakin itu pula ia mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki. Sebab, hanya kepada yang dicintai, seseorang akan mampu melaksanakan pengabdian yang benar. Demikian juga, semakin seorang hamba mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki kapada Tuhannya berarti derajatnya di sisi Allah s.w.t akan menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu, orang yang paling berma’rifat dan paling bertakwa dan paling mulia di sisi Allah s.w.t adalah Rasulullah s.a.w. Hal itu karena Beliau paling mencintai dan paling dicintai oleh Allah s.w.t.

Untuk mencapai ma’rifatullah. Secara teori, seorang hamba akan diperjalankan oleh tarbiyah Allah s.w.t dengan dua cara:

1. Kehendak yang datangnya dari atas ke bawah. Artinya, semata-mata wijhah yang ada di dalam hati—yang asalnya tertutup—dibuka oleh Allah s.w.t. Hijab-hijab matahati dihapuskan. Penutup pintu rahasia dibukakan. Seperti orang menyalakan lampu, maka yang asalnya gelap menjadi terang, yang asalnya tidak kenal kemudian menjadi kenal. Bagaikan mendung ketika sirna, matahari kemudian berada di atas kepala. Hal itu karena Allah s.w.t memang berkehendak mengenalkan diri kepada hamba-Nya, tidak dengan sebab yang lain, tidak dengan sebab amal ibadah yang sudah dikerjakan. Yakni, seorang hamba menjadi mengenal kepada-Nya semata-mata karena Allah s.w.t adalah Dzat Yang Maujud:

قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakanlah : “Allah-lah” kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. al-An’am; 6/91).

2. Kehendak dari bawah kemudian ke atas. Artinya terlebih dahulu seorang hamba dikenalkan kepada makhluk-makhluk-Nya baru kemudian dikenalkan kepada Al-Khalik (penciptanya), Sebagaimana firman Allah s.w.t:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2; 164)

Pengenalan seorang hamba kepada Sang Pencipta langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar serta kemanfaatan-kemanfaatan yang dapat dimanfaatkan bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah s.w.t hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.

Perhatian dan penelitian seorang hamba terhadap semua itu menghasilkan suatu kesimpulan bahwa betapa Allah s.w.t telah banyak berbuat baik kepada umat manusia dan betapa sangat banyak manusia yang tidak mengetahui dan tidak menyadarinya dan bahkan kafir kepada-Nya. Pemahaman tersebut kemudian menjadikan tumbuhnya rasa kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Hasilnya, mendorong dirinya untuk bertaubat dengan taubatan nasuha dan meningkatkan diri dalam melaksanakan pengabdian kepada Allah s.w.t.

Ma’rifat yang pertama adalah ma’rifat yang langsung memancar dari hati dan ruh (spiritual) yang kemudian dipancarkan lagi di dalam akal dan fikir (rasional ilmiah) yang selanjutnya dapat teraktualisasikan melalui akhlak dan perbuatan. Itu bisa terjadi karena seorang hamba memang telah terlebih dahulu dicintai Allah kemudian ia mencintainya. Ma’rifat yang pertama ini lebih kuat daripada ma’rifat yang kedua karena ia lebih hakiki adanya dan karena sesungguhnya letak ma’rifat itu adalah di dalam hati.

Ma’rifat yang kedua adalah ma’rifat hati (spiritual) juga, akan tetapi masuknya terlebih dahulu melalui akal dan fikir (rasional). Yakni pengenalan seorang hamba kepada kejadian-kejadian yang ada di bumi dan di langit menjadikannya mengenal kepada Sang Pencipta. Seperti orang yang mengenal buah karya tulis, ketika semakin dalam pengenalannya akhirnya ia ingin mengenal penulisnya.

Walau jalan masuknya ma’rifat yang kedua ini melalui rasional, akan tetapi ketika masuk ke dalam spiritual (hati), masuknya ma’rifat itu semata kehendak Allah. Hanya saja kehendak itu telah didahului oleh kehendak-kehendak yang sebelumnya—sebagai sebab-sebab yang tersusun tertib untuk mendapatkan akibat yang baik,—yaitu pahala dari amal ibadah yang sudah dilakukan.

Bukan karena semata-mata amal ibadah yang dapat menjadikan seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, akan tetapi sesungguhnya amal ibadah tersebut terlebih dahulu dijadikan sebab-sebab untuk bisa terpenuhi suatu proses pematangan ilmu pengetahuan secara rasional. Yakni supaya sampai kepada suatu akibat yang baik, yaitu pendewasaan ilmu dan akhlak secara spiritual.

Amal ibadah adalah persembahan seorang hamba kepada Tuhannya sedangkan ma’rifat adalah pemberian Allah kepada hamba-Nya, manakah yang lebih tinggi nilainya? Oleh karena itu, apabila Allah s.w.t berkehendak membukakan pintu wijhah hati seorang hamba untuk menerima Nur Ma’rifat, tidak peduli walau hamba-Nya itu sedang lemah dan sedikit amal ibadahnya.

SYARAH HIKAM BAB 6

Jangan Putus Asa Kepada Allah

لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ اَمَدِ العَطَاءِ مَعَ الاِلْحَاحِ فِى الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لك الاِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَفِى الوَقْتِ الَّذِى يُرِدُ لَا فِى الوَقْتِ الَّذِى تُرِيْدُ

“Tertundanya pemberian setelah do’a itu dipanjatkan dengan berulang-ulang, hal itu jangan menimbulkan putus asamu kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin diterimanya do’a, akan tetapi mengikuti pilihan Allah untukmu bukan mengikuti pilihanmu untuk dirimu dan di dalam waktu yang dikehendaki Allah bukan di dalam waktu yang engkau kehendaki”.

Jangan Putus Asa

Berdo’a adalah salah satu kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Allah s.w.t berjanji akan mengabulkan do’a-do’a tersebut sebagaimana firmanNya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombong-kan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al Mu’min(40)60)

Ketika seorang hamba berdo’a kepada Allah s.w.t dengan sungguh-sungguh, terlebih lagi do’a itu dilaksanakan dengan istiqamah (terus-menerus), maka do’a tersebut akan dikabulkan. Demikian itu karena Allah s.w.t sudah berjanji, maka sedikitpun Allah s.w.t tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.

Namun demikian, do’a-do’a yang dipanjatkan itu harus memenuhi syarat sebagai do’a yang dikabulkan. Rasulullah s.a.w telah menegaskan dengan sabdanya: “Setiap do’a yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah s.w.t asal tidak tercampur dengan dosa dan memutuskan tali silaturrahmi, do’a itu akan dikabulkan dalam tiga pilihan:(1) Diturunkan seketika di dunia dalam bentuk pemberian sesuai dengan permintaan; (2) Dijadikan simpanan di akhirat sebagai kafarat dari dosa-dosanya; (3) Digantikan sebagai ganti musibah yang tidak jadi diturunkan demi keselamatannya.” (atau yang searti dengannya).( Disampaikan oleh Hadrotusy Syekh Romo KH. Ahmad Asrory Al Ishaqy r.a dalam pengajian rutin minggu 2 di Ponpes Assalafi Al Fithrah Kedinding Surabaya)

Oleh karena itu, setelah do’a-do’a tersebut dipanjatkan, hendaknya seorang hamba yakin bahwa do’a-do’anya akan dikabulkan, walau ijabah itu dalam tiga pilihan yang masih dirahasiakan tersebut. Hanya Allah s.w.t yang Memilih, Menghendaki dan Mengetahuinya. Allah s.w.t berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqoroh; 2/186)

Asy-Syekh Ibnu Athaillah r.a meneruskan:

لَا يُشَكِّكَنَّكَ فِى الوَعْدِ عَدَمَ وُقُوْعِ المَوْعُوْدِ وَاِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُهُ لِئَلّاَ يَكُوْنَ ذَلِكَ قَدْحًا فِى بَصِيْرَتِكَ وَاِخْمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ

“Jangan sekali-kali meragukan janji Allah karena belum terpenuhinya janji itu walau batas pelaksanaannya sudah sangat dekat, supaya yang demikian itu tidak menjadikan redupnya sinar mata hatimu dan memadamkan cahaya rahasia batinmu”.

Allah s.w.t Lebih Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya, baik urusan dunia, agama maupun akhirat. Terlebih urusan rizki, karena dengan urusan rizki-rizki itu manusia bisa menjadi selamat atau tidak. Allah s.w.t tidak mengingkari janji-Nya bahwa setiap hamba-Nya yang berdo’a dengan benar pasti akan dikabulkan-Nya. Janji Allah tersebut ditegaskan dengan firman-Nya:

وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“(sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”. (QS.ar Rum(30)6)

Namun demikian, bagi hamba-hamba yang beriman—berkat kasih sayang-Nya yang dalam kepada mereka—apa saja yang diberikan kepadanya haruslah yang menjadikan mereka lebih baik. Dalam hal ini Allah s.w.t adalah yang lebih mengetahuinya. Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya : “Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”. (QS. 42; 27)

Oleh karena itu, jika ada janji Allah s.w.t yang seakan-akan belum terpenuhi, padahal menurut pengetahuan dan perasaan seorang hamba yang sedang terdesak, seharusnya saat terpenuhinya janji itu sudah sangat mendesak, bahkan sudah tidak ada waktu lagi untuk tertunda. Dalam hal yang demikian itu, janganlah menjadikan hati seorang hamba ragu-ragu kepada Allah s.w.t.

Siap Menerima Kenyataan

Bagaimanapun keadaan yang akan dan sedang terjadi, hati seorang hamba yang beriman hendaknya tetap yakin serta siap menghadapi, bahwa apa saja yang dikehendaki Allah s.w.t pastilah yang terbaik untuk dirinya. Yang demikian itu, supaya matahati dan cahaya rahasia batin tidak menjadi redup dan padam. Sebab, ketika ujian-ujian hidup itu sudah cukup menurut pandangan Allah, dan ketika seorang hamba telah melewatinya dengan nilai yang baik, maka problematika kehidupan dan bahkan konflik-konflik horizontal yang telah berlalu, sesungguhnya itu merupakan proses masuknya ilmu pengetahuan dalam hati yang tinggi nilainya. Itulah ilmu rasa, ilmu pengetahuan yang dapat mematangkan jiwa manusia. Ilmu pengetahuan yang mampu menebalkan keyakinan, membakar lapisan kabut hati sehingga menjadikan matahati seorang hamba semakin cemerlang dengan Nur Ma’rifat kepada Allah.

Hanya dengan cara seperti itulah Allah s.w.t memperjalankan kehidupan para hamba pilihan-Nya dan bahkan para nabi dan rasul-Nya. Mereka itu semua diperjalankan dalam realita kehidupan yang sesungguhnya. Mereka harus menghadapi kesulitan dan tantangan serta goncangan-goncangan hidup yang tidak ringan:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. al Baqoroh; 214)

Ketika keadaan mereka itu benar-benar telah terdesak baru pertolongan-Nya diturunkan, karena sungguh sedikitpun Allah s.w.t tidak akan mengingkari janji-Nya. Untuk menyikapi hal tersebut, menyangka baik adalah kuncinya. Orang yang mampu berhusnudz dzan kepada Tuhannya berarti telah mencapai 90% keberhasilan hidupnya. (malfiali)


SYARAH HIKAM BAB 5
Antara Jaminan Dan Kewajiban

اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرِكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى اِنْطِمَاسِ البَصِيْرَةِ مِنْكَ

“Kesungguhan dalam mengusahakan sesuatu yang sudah terjamin bagimu dan keteledoran dalam menjaga apa yang diwajibkan bagimu, menunjukkan tanda-tanda bahwa matahatimu dalam keadaan tertutup”.

hikam

Seluruh makhluk baik di langit maupun di bumi diciptakan Allah Ta’ala untuk kepentingan manusia. Maksudnya, hikmah penciptaan mereka itu hanya untuk hidup manusia, bukan sebaliknya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah; 13)

Merupakan rahmat Allah Ta’ala yang terbesar bagi manusia, malaikat dan jin diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Bukan Nabi Muhammad s.a.w diciptakan untuk melayani malaikat Jibril, tapi malaikat Jibril tercipta untuk melayani Nabi Muhammad s.a.w. Terlebih lagi makhluk yang ada di bumi, mereka semua tercipta hanya untuk kebutuhan hidup manusia. Di udara dengan aneka macam burung-burung dan di bumi dengan tumbuhan dan hewan, demikian juga di laut dengan ikan-ikannya. Semua itu ditebarkan dengan melimpah ruah hanya untuk kebutuhan hidup manusia.

Adapun manusia hanya diciptakan untuk Allah s.w.t, hanya untuk mengabdi kepada-Nya, tidak boleh mengabdi kepada selain-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat; 56) Artinya, dengan seluruh potensi alam tersebut, manusia harus dapat mempergunakannya untuk mengabdi kepada-Nya. Apabila ada pengabdian kepada selain-Nya, seperti kepada guru-guru, orang tua, istri dan anak serta kepada sesama manusia, pengabdian itu dijadikan wasilah guna melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah s.w.t

Secara umum rizki yang disediakan Allah bagi manusia tersebut ada tiga sifat:

1. Rizki yang dijamin. Rizki yang dijamin ini bukan hanya untuk manusia saja, bahkan untuk seluruh makhluk yang ada. Yaitu rizki-rizki yang sudah tersedia dan ditebarkan Allah Ta’ala di muka bumi, meski cara mendapatkannya harus dengan jalan usaha (ikhtiar). Allah menegaskan dengan firman-Nya:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُوم

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”. (QS. Al Hijr/15; 21)

Betapapun kerasnya seseorang berusaha, seandainya rizki-rizki itu tidak tersedia sebelumnya, bisakah mereka mendapatkannya? Seperti orang menanam benih, seandainya tanah yang ditanam tidak tercipta dapat menumbuhkan tanaman, dapatkah mereka manuai hasilnya? Demikianlah sunnah yang sudah ditetapkan (sunnatullah). Dengan sunnah-Nya pula setiap makhluk mendapatkan rizki yang sudah ditetapkan baginya.

2. Rizki yang ditambahkan. Rizki ini bisa didapatkan ketika seorang hamba mampu bersyukur kepada Allah. Hal itu dinyatakan dalam firman-Nya; “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. 14; 7) Kalau manusia belum bisa bersyukur, padahal dia mendapatkan rizki yang melimpah, berarti didatangkan dari jenis “rizki yang dijamin”, bukan yang ditambahkan. Hanya saja ia mendapatkan bagian yang lebih besar daripada orang lain.

3. Rizki yang dijanjikan. Yaitu rizki yang didatangkan dari rahasia (buah) ibadah yang dijalani. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS.an Nahl/ 16; 97)

Adapun kebutuhan hidup manusia juga terdapat tiga macam. Pertama untuk kecukupan hidup (primer). Kedua untuk kesempurnaan hidup (sekunder) dan ketiga untuk kesenangan hidup (tersier). Kebutuhan untuk kecukupan hidup, boleh jadi semua orang hidup sudah mendapatkan. Buktinya, bagaimanapun susahnya hidup seseorang, rata-rata mereka masih bisa makan minimal dua kali sehari. Sedangkan kebutuhan untuk hidup sempurna, oleh karena tingkat kesempurnaan hidup ada batasnya, maka yang demikian itu bisa direncanakan dan dibatasi. Berbeda bila yang dibutuhkan hidup adalah memperturutkan kesenangan, terlebih hanya berdasarkan kemauan hawa nafsu, kebutuhan inilah yang tidak terbatas, karena batasan senang hanyalah kematian.

Jika ketiga rizki tersebut dikaitkan dengan ketiga jenis kebutuhan hidup, maka cara mengusahakannya menjadi variatif. Jalan ikhtiar itu mengikuti jenis kebutuhan hidup tersebut. Saat itulah “iman dan tawakkal” seorang hamba diuji. Apabila dalam mengusahakan “rizki yang sudah dijamin” menjadikan sebab keteledorannya terhadap sesuatu yang diwajibkan, yakni beribadah dan mengabdi kepada Dzat yang memberikan rizki tersebut, berarti menunjukkan tanda-tanda matahatinya sedang tertutup.

Sarana Ibadah

Seringkali orang mengatakan, bahwa rizki-rizki yang dimiliki sekedar untuk mencukupi kebutuhan ibadah. Kalau dalam mencari rizki itu memang benar-benar mencari sarana ibadah, maka usaha itu juga termasuk ibadah. Namun, seperti orang mengerjakan shalat, setiap ibadah pasti ada syarat dan rukunnya serta syah dan batalnya ibadah, maka dalam mengusahakan rizki itu manusia harus memilih jalan yang dibenarkan dan dihalalkan oleh Agama.

Dalam kaitan tersebut, keadaan hati manusia dapat terbaca dari bagaimana cara mereka mensikapi harta benda yang sudah dimiliki. Kalau harta-harta itu ternyata memudahkan untuk melaksanakan ibadah dan ringan dibelanjakan di jalan Allah, berarti—usahanya dalam mendapatkan rizki tersebut— benar-benar ibadah. Apabila tidak, bahkan usahanya dalam mencari rizki-rizki tersebut ternyata justru mengalahkan kewajibannya dalam melaksanakan ibadah, maka boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya, justru ibadah yang dilakukan itulah, sesungguhnya hanya dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan rizki dunia. Jika demikian, berarti matahati manusia itu dalam keadaan buta.

Oleh karena sebagian manusia hanya melihat dengan mata lahir saja sedangkan mata batinnya buta, maka yang tampak hanya kebutuhan hidup yang lahir bukan yang batin, kebutuhan nafsu syahwat bukan kebutuhan hati dan ruhani. Akibatnya, meski mereka telah melaksanakan amaliyah yang berkaitan dengan urusan yang batin, seperti berdzikir misalnya, namun tujuan akhirnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang lahir. Bahkan majlis dzikir itu hanya dijadikan sarana untuk kepentingan politik. Fenomena berbicara, belakangan ini banyak majlis dzikir didirikan tetapi tujuannya untuk kepentingan duniawi. Mereka mengumpulkan orang banyak dalam wadah ‘majlis dzikir’, tetapi tujuannya bukan untuk berdzikir kepada Allah melainkan supaya orang-orang yang dikumpulkan itu memilih dirinya menjadi pejabat atau wakil pejabat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian manusia terbukti banyak yang matahatinya buta. (malfiali)


SYARAH HIKAM BAB 4
Ta'dir dan Cara Menyikapinya

اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ, فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

Lenturkan hatimu untuk menerima apa yang sudah dalam pengaturan, apa saja yang sudah diatur oleh selainmu maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu”.

Mengatur diri untuk menerima dan mengikuti segala yang diatur Allah bagi diri sendiri merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Menentukan pilihan terhadap apa yang sudah dipilihkan Allah untuk diri pribadi merupakan keharusan untuk dapat melaksanakan pengabdian hakiki. Hal itu disebabkan, karena hanya Allah yang Maha Pencipta, maka hanya Allah yang terlebih dahulu mengatur segala kehidupan alam semesta. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. (QS. al-Qashash(28)68)

Apabila ada pengaturan selain-Nya yang berjalan tidak sesuai dengan aturan Allah pasti akan sia-sia. Dan ketika masa tangguhnya telah terlewati, aturan itu pasti akan hancur berantakan tanpa ada bekasnya lagi.

Seorang hamba wajib melaksanakan ibadah, namun juga merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya adalah mengatur dan memilih jenis ibadah tersebut minimal mendekati ketetapan yang sudah ditentukan Allah s.w.t sejak zaman azali. Caranya, menghadapi realita baik senang maupun susah dengan hati yang pasrah. Melenturkan hasrat dan semangat, mengikuti apa yang sedang dihadapi, karena yang sudah terjadi pasti sesuai dengan kehendak Allah untuk dirinya, dengan asumsi bahwa Allah tidak pernah salah di dalam berbuat.

Allah mencintai orang-orang yang beriman
(QS.al Baqoroh/257). Adakah orang yang mencintai akan memberi sesuatu yang tidak layak bagi orang yang dicintai? Oleh karenanya, seluruh ketetapan Allah pasti merupakan hal yang terbaik bagi orang beriman. Namun demikian, tinggal bagaimana kekuatan iman orang tersebut dalam menyikapi ketetapan Allah itu dengan hati selamat. Ketika seorang hamba menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya, menghadapi musibah dan fitnah misalnya. Sanggupkah hatinya tetap yakin bahwa hal tersebut merupakan ujian untuk meningkatkan keimanan dan kecintaannya kepada Allah. Jika tidak, berarti bukan Allah tidak mencintainya tetapi pertanda cintanya kepada Allah kurang sempurna.

Allah s.w.t adalah Sang Pencipta dan Sang Pengatur Alam Semesta, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?.” (QS.Yunus( 10) 3)

Hanya Allah yang mengatur segala kejadian baik di langit maupun di bumi. Merupakan bagian dari aturan-Nya itu, Allah juga mentarbiyah hati hamba-hamba-Nya yang beriman. Dengan tarbiyah itu supaya iman di hati mereka tumbuh berkembang menjadi yakin dan ma’rifatullah. Oleh sebab itu, terhadap hamba-hamba yang dicintai itu, apa saja yang ada dalam kehidupan mereka senantiasa dijadikan sebagai sarana dan media supaya Allah s.w.t dapat berkomunikasi dan menyampaikan segala kehendak-Nya:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. (QS.al-Anbiya’(21)35)

Keburukan dan kebaikan yang terjadi, semua itu bertujuan supaya seorang hamba senantiasa sadar bahwa ia harus kembali kepada Allah dalam keadaan baik sebagaimana asalnya. Kembali dalam keadaan sebagaimana fithrahnya. Untuk tujuan tersebut keburukan dan kebaikan dijadikan sebagai media fitnah atau ujian bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Dalam menghadapi realita hidup tersebut, kekuatan iman adalah hal yang sangat menentukan supaya seorang hamba mampu menyikapinya dengan tepat.

Kalau iman dalam hati sudah kuat maka jiwa akan menjadi mantab. Kalau hati sudah percaya bahwa keduanya hanyalah sekedar batu ujian untuk menjaga kekuatan iman, maka apapun yang sedang dihadapi sesungguhnya secara hakiki hanya menghadapi Allah s.w.t sebagai kehendak dan pilihan-Nya.

Oleh karena itu, Allah s.w.t haruslah yang paling dicintai. Jika yang dicintai oleh seorang hamba hanya Allah, sedangkan yang selain-Nya sekedar sarana guna mengaktualisasikan kecintaan tersebut, maka baginya tidak ada pilihan dalam menghadapi realita, baik susah maupun senang pasti akan dirasakan sama-sama nikmat. Ketika menghadapi susah, hatinya malah menjadi senang, karena ia yakin bahwa di balik susah itu pasti ada senang. Namun sebaliknya, ketika sedang menghadapi senang, hatinya malah menjadi susah dan prihatin, karena ia tahu bahwa di balik senang itu pasti adalah susah menunggu giliran datang. Oleh karena itu, senang tersebut tidak dihabiskan sendiri, tetapi dibagi bersama orang-orang lain.

Orang beriman tidak boleh mengikuti kemauannya sendiri ketika ia tahu bahwa Allah sudah memilihkan ketetapan untuk dirinya, apabila hal tersebut dilakukan berarti ia berbuat durhaka kepada Tuhannya. Allah s.w.t telah menegaskan dengan firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS.al-Ahzab(33)36)

Sebagai seorang kholifah bumi, manusia harus mengatur diri sendiri supaya hidupnya menjadi baik, namun sebagai seorang hamba ia harus menerima segala aturan yang sudah ditetapkan Allah Ta’ala bagi dirinya. Padahal tidak banyak orang tahu, mana yang harus diatur dan mana yang sudah diatur oleh Allah untuk dirinya. Oleh karena itu, orang-orang beriman harus mampu mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Mengenal hak dan kewajibannya di hadapan Tuhannya, itulah yang dimaksud ma’rifatullah. Dengan pengenalan tersebut mereka menjadi tahu, mana yang harus di atur mana yang harus diterima.

Apabila tidak demikian, apabila manusia hanya mengatur saja dan tidak mau menerima aturan Allah untuk dirinya, maka ketika aturannya tersebut ternyata tidak menghasilkan kenyataan sebagaimana yang diharapkan, seringkali mereka menjadi putus asa. Ketika aturan tersebut berkaitan dengan urusan secara horizontal, maka dari sinilah awal mula terbitnya penyakit hasud, iri dan dendam kepada sesama manusia. Terlebih ketika kemampuan hidupnya sudah menipis karena digerogoti usia yang semakin habis sedangkan kenyataan hidup belum menunjukkan tanda-tanda menuju harapan dan keinginan, maka dalam kondisi demikian manusia bahkan menjadi stress dan kehilangan diri. Penyakit-penyakit datang bertumpukan karena hidup berjalan tidak seimbang.

Untuk menjadi kholifah bumi manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan untuk menjadi seorang hamba yang berma’rifat manusia harus memperbanyak berdzikir kepada Allah. Jadi perpaduan antara dzikir dan pikir yang dibangun secara seimbang dalam kehidupan akan mampu menjadikan jiwa menjadi kuat dan tahan uji. Menjadi manusia sempurna baik lahir mapun batin, lahirnya penuh dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan batinnya penuh dengan hidayatullah. Itulah yang dimaksud dengan insan kamil. Allah Ta’ala memberikan sinyalemen dengan firman-Nya yang artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal - (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS.Ali Imran(3)190-191)
(malfiali)

SYARAH HIKAM BAB 3
Menyikapi Batas Kepastian Dan Takdir


سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَخْرُقُ اَسْوَارَ اْلأقْدَارِ

Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.



Seorang salik (pengembara di jalan Allah) dalam menggapai cinta dan cita. Mereka mengadakan pengembaraan ruhaniah dengan melaksanakan mujahadah dan riyadlah. Hal tersebut dilakukan bertujuan semata-mata untuk mengabdi serta melatih diri meningkatkan iman dan yakin, karena mereka melaksanakan perintah Kitab Suci yang dinyatakan dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS.al Ankabut(29)69)

Sejak dahulu sampai sekarang, pengembara­an tersebut mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh, dengan melupakan urusan lain dan bahkan mengorbankan kepentingan duniawi. Untuk sementara mereka meninggalkan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Baik dengan sendiri-sendiri maupun dalam kelompok kecil, mereka melakukan perjalanan suci tersebut. Beri’tikaf dengan bersafari dari satu masjid kepada masjid yang lain, dan kadang juga dengan menyepi dan mengasingkan diri dari dunia ramai, tinggal di dalam gua-gua di tengah hutan bahkan bermukim dalam waktu-waktu tertentu di komplek-komplek makam para waliyullah.

Namun demikian, betapapun kerasnya usaha tersebut, sesungguhnya mereka tidak akan mampu melewati batas yang sudah digariskan oleh takdir Allah s.w.t Demikian itu yang dimaksud oleh asy-Syekh Ibnu Atho’illah r.a, dalam konsepnya di atas: “Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.

Meskipun demikian, seorang hamba harus memulai dengan bekerja dan berusaha. Mereka harus menyingsingkan lengan baju, mencangkul dan membajak sawah. Memilih benih unggul, membaca pergantian musim dan mengalirkan air dari sumbernya. Ketika benih di tangan akan ditanam, hendaknya ditanam di tanah yang tepat dan cocok. Kalau tidak, betapapun telah dilakukan dengan memeras keringat darah sekalipun, jika benih tersebut ditanam di tanah yang tidak cocok, benih itu tidak akan dapat tumbuh dengan sempurna. Kalaupun bisa tumbuh, namun tidak akan berbuah dengan baik. Apabila hal tersebut terjadi, berarti pekerjaan itu sia-sia. Amaliyah menjadi seperti debu bertebaran dan kemudian akan hilang sama sekali.

Dari setiap jenis tanah pasti mempunyai kekhususan. Di situ ada indikator yang dapat dibaca oleh matahati yang ‘arifin guna mengetahui rahasia garis takdir Allah terhadap seorang hamba. Namun tanah yang dimaksud bukan yang ada dipermukaan bumi, akan tetapi yang berada di dalam dada seorang hamba yang beriman. Allah s.w.t telah menetapkan sunnah-Nya, menciptakan garis-garis batas dan tanda-tanda—terhadap setiap jenis makhluk yang diciptakan-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran; 190) Ketetapan tersebut tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya.

Seorang petani yang baik seharusnya tidak hanya mampu mengenali jenis benih unggul saja, namun juga sifat tanah dan gejala pergantian musim serta jenis-jenis penyakit dan obat-obatan. Hal itu agar apa yang diusahakan minimal dapat mendekati kebenaran. Pekerjaan itu tidak melenceng dari suratan takdir yang tidak dapat ditembus oleh usaha manusia. Dalam kaitan pelaksanaan pengembaraan ruhaniyah ini, untuk menyikapi hal tersebut, mereka harus mampu menyatukan ‘dua kehendak yang berbada’ yang terbit dalam jiwa mereka sendiri.

Menanam benih itu tidak hanya di hati orang lain saja, namun juga yang penting di hatinya sendiri. Dengan dzikir misalnya, ketika dzikir itu diniatkan untuk melaksanakan mujahadah kepada Allah, hal itu dilakukan untuk membangun sebab-sebab supaya mendapatkan akibat yang baik. Jika dengan amaliyah tersebut seorang hamba berharap dibukakan hatinya untuk menerima Nur Ma’rifatullah serta Rahasia-rahasia kebesaran-Nya, maka hendaklah orang tersebut ingat bahwa Allah s.w.t telah berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.ash Shaafat(37)96)

Artinya; apapun yang sedang dikerjakan manusia, sesungguhnya—seperti juga dirinya—pekerjaan itu adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu, sejak dzikir itu dilakukan, hendaknya diberangkatkan dengan pemahaman yang kuat, bahwa dzikir tersebut hanyalah sebuah pelaksanaan (taqdir) dari sebuah ketetapan (qadla) sejak zaman azali. Orang yang sedang berdzikir itu harus mampu meredam kemauan basyariyahnya dan mengembalikan kepada ketetapan takdir azaliah serta menjiwai lafat-lafat dzikir yang sedang dibaca dengan dasar keyakinan, bahwa seorang hamba hanya sebagai pelaksana yang sekarang sedangkan Allah yang Maha Kuasa adalah perencana pekerjaan itu sejak zaman azali.

Dengan yang demikian itu, ketika irodah hadits dan irodah azali menyatu dalam satu semangat. Seorang hamba berdzikir dengan usahanya dan Sang Junjungan berdzikir dengan kekuasaan dan izin-Nya, maka dzikir yang asalnya lemah—karena dilaksanakan pada dimensi hadits—akan menjadi kuat karena dilaksanakan dalam kebersamaan dengan dimensi qadim. Selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan istilah “Tauhidul Fi’li” atau satu dalam perbuatan. Yang satu perbuatan seorang hamba secara majazi dan yang satunya perbuatan Sang Junjungan secara hakiki. Inilah yang disebut meditasi Islami. Melaksanakan konsep sebagaimana yang disampaikan dalam ungkapan Jawa: ‘mati sakjeroning orep supoyo biso orep sakjeroning pati’. Setelah orang mampu mencapai tahapan tersebut, segera dia harus meningkatkan dzikirnya pada tahapan berikutnya. Yakni dia hendaknya mengingat lagi, bahwa Allah pernah berfirman:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at Takwir(81)29).

Artinya: sesungguhnya apa yang dilakukan tersebut hanyalah terbit dari satu kehendak, yaitu kehendak Allah Yang Menciptakan Alam Semesta. Kehendak-Nya merupakan sebab pertama, kemudian dari kehendak itu timbul kehendak-kehendak lain yang tersusun tertip sesuai skenario azaliyah, sehingga seorang hamba berkehendak melaksana­kan dzikir kepada Tuhannya sebagai akibat. Apabila dengan usaha tersebut kehendak yang hadits menyatu dengan kehendak yang qadim, maka sesungguhnya tidak ada lagi yang berkehendak kecuali hanya Allah Rabbul ‘Alamin.

Apabila seorang salik mampu mencapai tahapan tersebut, dzikir haditsnya mencapai dzikir qodim, maka ia akan mencapai interaksi dua dzikir yang berbeda. Yang satu dzikir seorang hamba sebagai munajat dan satunya dzikir dari Tuhannya sebagai ijabah. Dengan demikian itu maka do’a dan munajat seorang hamba akan mendapat ijabah dari-Nya. Allah Ta’ala menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya :

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS.al Baqoroh(2)152)
(malfiali)

SYARAH HIKAM BAB 2
Maqom Seorang Hamba Dalam Kehidupan Dunia

ارَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ , وَاِرَادَتُكَ الاَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ العَلِيَّةِ.

Kehendakmu menggapai maqom tajrid padahal Allah s.w.t mendudukkanmu di maqom asbab, hal itu merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu menduduki maqom asbab padahal Allah s.w.t mendudukkanmu di maqom tajrid berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.

Barangsiapa mengenal dirinya berarti mengenal Tuhannya. Begitulah bunyi sebuah ungkapan dari Hadits Nabi s.a.w. Oleh karena itu, manusia harus mengenal dirinya sendiri. Dalam kaitan mengenal diri sendiri ini, mengenal maqom hidup adalah bagian terpenting yang harus dilakukan manusia. Dengan mengenal maqom hidup, seorang hamba akan mampu mengisi segala aktifitas pengabdian hidupnya dengan benar, baik bagi diri sendiri, lingkungan maupun kepada Tuhannya. Apabila maqom hidup itu tidak dikenali, manusia akan mengalami kebingungan sehinga menjadi terjerumus dalam kerugian hidup yang fatal.

Maqom hidup itu ada dua, pertama: maqom tajrid dan kedua maqom asbab. Yang dimaksud maqom tajrid adalah ‘kedudukan hidup’, di mana dengan kedudukan itu sumber rizki (kebutuhan hidup) manusia dimudahkan oleh Allah s.w.t. Sumber kebutuhan hidup itu didatangkan dengan tanpa dicari dan diikhtiari. Meskipun datangnya rizki itu melalui sebab-sebab, namun sebab-sebab itupun merupakan sesuatu yang didatangkan dengan mudah.

Sebagai contoh kehidupan para ‘ulama suci lagi mulia. Setiap hari kegiatan mereka hanya mengurus santri dan murid-murid serta jama’ahnya, sehingga tidak kebagian waktu untuk memikirkan sumber rizki secara lahir. Namun ternyata kebutuhan hidup mereka mendapat kecukupan. Bahkan terkadang melebihi kecukupan hidup orang-orang yang setiap hari sibuk mencari nafkah. Dengan maqom tajrid itu, seorang hamba yang ‘arifin hanya membaca sebab-sebab yang didatangkan, kemudian ditindaklanjuti dengan amal (ikhtiar).

Adapun maqom asbab, adalah suatu maqom dimana rizki seseorang tidak didatangkan kecuali melalui sebab-sebab yang diusahakan dan diikhtiari sendiri. Mereka tidak mendapatkan sumber kehidupan kecuali dari jalan ikhtiar yang dilakukan. Untuk itu mereka harus berikhtiar dan berusaha. Mencari dan menciptakan peluang supaya terbuka sebab-sebab baginya untuk mendapatkan rizki hidup. Setelah sebab-sebab itu terwujud, baru ditindaklanjuti dangan amal. Hal itu seperti merupakan keadaan yang dialami kebanyakan manusia.

Apabila kedua maqom tersebut dikaitkan dengan “usaha dan tawakkal”, sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t dalam firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ber’azam), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran; 159). Maka orang yang duduk di maqom tajrid adalah orang yang bertawakkal terlebih dahulu baru berusaha.

Maksudnya, dengan segala pengabdian hidup yang mereka jalani sebagai seorang tajrid, mereka juga harus mampu membaca keadaan. Ketika realita menunjukkan sebab-sebab untuk terbukanya sumber penghidupan, baru mereka ber-azam untuk menindaklanjutinya dengan ikhtiar.

Berbeda dengan orang yang duduk di maqom asbab. Orang tersebut harus ber-azam dahulu untuk membangun suatu sumber kehidupan, baik dari memulai menciptakan sebab-sebab sampai menindaklanjuti sebab itu dengan usaha dan perjuangan. Setelah usaha hidup itu berjalan dengan baik, untuk hasilnya, baru kemudian mereka bertawakkal.

Ibarat seorang permainan bola di lapangan, usaha hidup seorang tajrid adalah seperti orang yang menunggu bola datang. Setelah bola itu datang dan dikuasai, mereka kemudian harus memasukkannya ke gawang musuh. Sedangkan orang yang menerapkan maqom asbab, dari awal mereka harus mempunyai inisiatif penyerangan untuk menguasai bola, menggiring dan kemudian memasukkannya ke dalam gawang musuhnya. Jadi maqom tajrid ini bertawakkal dahulu baru berusaha sedangkan maqom asbab, berusaha dahulu baru bertawakkal.

Jangan Ingin Pindah Dari Satu Maqom Ke Maqom Lain


Asy-Syekh Ibnu Ath-Tho’illah r.a berkata: “Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal Allah mendudukkanmu di maqom asbab merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal Allah mendudukkanmu di maqom tajrid berarti telah turun dari tingkat yang sangat tinggi”.

Maqom tajrid adalah maqom yang mulia, merupakan karunia besar yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Namun demikian, ketika pemiliknya masih hidup di dunia, keadaan tersebut, baik urusan ukhrawi maupun urusan duniawi, akan mengalami gejala sebagaimana sifat kehidupan dunia pada umumnya. Yakni terjadi pasang surut seperti pasang surutnya air laut.

Ketika tajridnya sedang naik, maka rizki orang tajrid itupun ikut naik. Rizki mereka didatangkan bagaikan air laut yang sedang pasang. Sumbernya memancar terus-menerus seakan tidak bisa putus lagi. Namun ketika tajridnya sedang turun, mereka terkadang bahkan mengalami kekeringan yang amat sangat. Seperti musim kemarau panjang yang seakan tidak turun hujan lagi. Keadaan seperti ini bagi seorang tajrid merupakan bentuk ujian yang sangat berat. Betapa tidak, ketika dia harus menghadapi desakan kebutuhan realita yang tidak dapat dielakkan. Menghadapi tuntutan kebutuhan hidup sebagai seorang kepala rumah tangga. Mereka melihat kesulitan hidup yang dihadapi anak-anak dan istrinya, bahkan kadang-kadang dihadapkan pada masalah yang berat, anaknya sedang sakit keras misalnya. Padahal sedikitpun dia tidak dapat berusaha untuk membawanya ke rumah sakit karena tidak tersedianya sarana dan dana. Dalam keadaan seperti itu, seorang tajrid tetap harus menunggu sebab yang datang. Mereka tidak boleh mengusahakan datangnya sebab itu meski dihadapkan dengan kematian.

Seandainya mereka masih menduduki maqom asbab, barangkali masih dapat berusaha, walau hanya untuk mendapatkan pinjaman dari makhluk misalnya. Akan tetapi di maqom tajrid hal tersebut tidak boleh dilakukan. Ketika sebab-sebab yang pertama tidak sedang berada di depan mata, datangnya sebab tersebut tidak boleh diharapkan dan diusahakan dari makhluk. Apabila hal itu dilakukan berarti akan menurunkan mereka pada derajat maqom asbab.

Seorang maqom tajrid hanya dapat menunggu kepastian yang akan terjadi. Apapun keadaannya, yang demikian itu lebih baik baginya daripada harus menyandarkan harapan kepada makhluk. Hal itu sebagai konsekuensi maqom yang diduduki tersebut. Untuk itu, dalam keadaan yang bagaimanapun mereka harus mampu menentukan pilihan hidup, mana yang boleh diusahakan dan mana yang tidak.

Seorang tajrid harus mampu meredam gejolak hatinya sendiri. Sedikitpun mereka tidak boleh menyandarkan harapan untuk mendapatkan pertolongan kepada sebab-sebab, akan tetapi hanya kepada yang menyebabkan sebab-sebab. Meskipun ketika Allah menurunkan pertolongan-Nya, tentunya pertolongan itu datang melalui sebab-sebab. Namun demikian, datangnya sebab-sebab itu bukan dari arah yang dikehendaki dan bukan pula dari usahanya sendiri. Menghadapi keadaan seperti itu, kadang-kadang hati mereka sempat menjadi goyang, bahkan hampir-hampir putus asa. (malfiali)

SYARAH HIKAM BAB 1
Tanda-Tanda Lemahnya Yakin

مِنْ عَلَامَاتِ الإعْتِمَادِ عَلى العَمَالِ نُقْصَانُ الرّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزََّللِ

“TANDA-TANDA BERGANTUNG KEPADA AMAL, KURANG HARAPAN KETIKA AMAL SEDANG LEMAH”.

Sebagai seorang hamba Allah s.w.t. manusia wajib mengabdi kepada-Nya, karena untuk itulah ia diciptakan. Pengabdian itu harus dijadikan sebagai landasan segala aktifitas dan perjuangan hidup­nya di jalan-Nya. Supaya pengabdian itu bisa berjalan dengan baik, maka manusia harus melandasinya dengan dua sifat; Pertama sifat raja’ atau berharap dan kedua sifat khauf atau takut. Allah s.w.t. mengajarkan hal itu dalam firmanNya:
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, - dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”. (QS. Al-Hijr; 15/49-50)
Sifat raja’ diperlukan agar manusia tidak terjerumus dalam putus asa. Karena sebesar apapun dosa seorang hamba, sifat pengampunan Allah kepada yang dikehenda­ki-Nya lebih besar dan lebih luas tak terhingga.
Adapun dengan sifat khauf dimaksudkan agar seorang hamba tidak sembrono dan tidak mudah lepas kontrol. Sebab, sekecil apapun dosa yang sudah diperbuat, oleh karena tidak ada seorangpun yang pernah mengadakan perjanjian dengan Allah sehingga mendapatkan jaminan dimasukkan ke surga, maka tidak ada jaminan bagi seseorang untuk selamat dari dosa yang sudah diperbuatnya.

Amal Batin Adalah Buah Amal Lahir
Amal ibadah lahir, baik shalat, puasa, zakat shadaqah, dzikir, fikir, mujahadah maupun riyadlah, apabila dilaksanakan dengan benar, semata-mata mengharapkan ridla Allah, amal tersebut akan membuahkan amal batin yakni ketakwaan di dalam hati dan keyakinan kepada Allah. Jika amaliah tersebut dapat dilaksanakan secara istiqamah, sehingga iman dan yakin semakin meningkat, hasilnya seorang hamba akan mendapatkan ma’rifatullah, yakni mengenal kepada Allah s.w.t.
Namun, apabila tumbuhnya kekuatan yakin atau ma’rifat itu selalu berbarengan dengan terbitnya amalan lahir, dan ketika amal lahirnya sedang lemah menjadikan keyakinan atau ma’rifatnya lemah, sehingga pengharapan kepada Allah menjadi lemah pula. Maka melemahnya pengharapan kepada Allah disaat lemahnya alam lahir, itu merupakan tanda bagi sesungguhnya seorang hamba belum bertawakkal kepada Allah. Mereka belum yakin dan percaya kepada Allah tapi yakin dan percaya kepada amal ibadahnya. Belum yakin kepada Sang Pemberi akan tetapi yakin kepada alat untuk mendapatkan anugrah pemberian. Akibatnya, ketika ia sedang jauh dari amaliah yang di jalani itu, ia kembali akan kehilangan kepercayaan diri lagi.
Amal ibadah lahir, meski berbentuk wirid-wirid khusus seperti amaliah thoriqoh, seyogyanya hanya dilakukan oleh seorang hamba sebagai bentuk aktualisasi kerinduannya kepada Allah s.w.t. Amaliyah itu dijadikan semata-mata sarana dzikir dan fikir untuk menyampaikan hasrat dan munajat yang tersimpan dalam hati. Hanya sebagai pemenuhan kebutuhan “komunikasi ruhani” antara seorang hamba yang rindu kepada Junjungannya. Sedangkan segala kepastian dan takdir serta kehendak-Nya—yang sedang dihadapi—apapun bentuknya, baik senang maupun susah, sesungguhnya itu merupakan bentuk jawaban dari ibadah lahir itu. Realita itu sejatinya adalah dzikir balik dari-Nya, atau arus balik dari dzikir yang sudah disampaikan kepada-Nya.
Hati seorang hamba harus selalu siap menghadapi kepastian takdir itu, dalam keadaan sedang jalan wiridnya maupun tidak. Mereka siap di dalam hati, bahwa selain yang keluar dari kehendaknya (irodah) sendiri, pasti itu adalah kehendak Tuhannya. Untuk itu, apapun bentuknya—yang terjadi di dalam realita dan dari siapapun datangnya—kalau kehendak Tuhan sudah datang di hadapannya, seorang hamba yang ber-ma’rifat akan sanggup menyongsong realita itu dengan hati yang selamat. Mereka berprasangka dangan prasangka yang baik (husnudh-dhon), walau sedang dihadapkan dengan kematian sekalipun. Tidak ada pilihan lagi selain hanya berusaha memilih “apa-apa” yang sudah dipilihkan Allah untuknya.
Memang benar, kalimat terakhir yang dapat menyelamatkan manusia dari neraka dan menghantarkannya masuk surga adalah kalimat “Lailaha illa Allah”. Sungguhpun demikian, ketika kalimat itu sudah tidak lagi mampu diucapkan dengan lisan—karena terhalang oleh penderitaan sakaratul maut yang menyakitkan—maka boleh diucapkan di dalam hati. Sebab, kalimat itu akan benar-benar dapat menyelamat­kan manusia dari fitnah sakaratul maut, apabila kalimat itu mampu dipancarkan oleh hati yang sadar. Sedangkan yang dimaksud dengan hati yang sadar adalah hati yang selalu berdzikir kepada Allah I atau hati yang berma’rifat kepada Tuhannya. (malfiali)