Jumat, 31 Oktober 2008

Menuju Hati Yang Khusu'

Pembuka Tujuh Pintu Hati


Untuk Membangun sebab-sebab agar hati seorang hamba menjadi khusu’, satu-satunya cara ialah, hendaklah seorang hamba melaksanakan mujahadah di jalan Allah Ta’ala. Karena dengan mujahadah itu supaya Allah Ta’ala memberikan futuh (terbukanya pintu hati) sebagaimana telah di janjikan-Nya :

dan orang-orang yang berjihat untuk Mencari ridhaan kami,benar-benar akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami” QS.al Ankabut.29/69.

Dalam kaitannya pintu hati tersebut, dengan dikaikan dengan firman Allah Ta’ala berikut ini:

“Sesungguhnya waliku adalah allah, yang telah menurunkan alkitab (AlQuran).dan dia memberikan walayah kepada orang yang soleh” QS.alA’raaf.7/196.

Guru besar kita Asy-Syekh Ahmad Asori Al-Ishaqi ra. telah berfatwa dalam suatu majlis pengajian yang diselenggarakan di pondok pesantren yang di pimpinnya di surabaya. Yaitu bahwa salah satu hasil yang dapat diperoleh dari pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh yang istiqomah(thoriqoh) yang benar, hati seorang salik akan mendapatkan futuh dari Alah Ta’ala. Yaitu terbukanya matahati untuk menerima hidayah yang didatangkan secara bertahap sampai tujuh tahap. Dengan ”tujuh tahapa Futuh tersebut seorang hamba berpotensi mendapatkan ma’rifatullah.mencintai dan dicintai-Nya. Tahapan futuh tersebut ialah:

  1. Terhadap orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Allah itu, sebagai buah dzikir yang dilakukan, tahapa pertama,Allah akan membuka empat pintu dzikir itu ialah:

· Pintu pertama,lesannya dimudahkan untuk berdzikir kepada Allah namun dengan hati masih dalam keadaan lupa kepada-Nya

· Pintu kedua, lesannya berdzikir dengan hati sudah mulai ingat

· Pintu ketiga, lesannya berdzikir dengan hati yang hadir dihadapan Allah

· Pintu keempat, lesannya bedzikir dengan hati yang lupa kepada selain yang didzikiri.

*) Adalah empat tahap terbukanya pintu matahati (futuh) untuk supaya seorang salik berjalan di jalan Allah atau berthoriqoh dapat merasakan kenikmatan berdzikir yang harus mampu diselesaikan di dalam riyadhoh (latihan) yang dilakukan, sampai mereka benar-benar dapat merasakan kenikmatan “bermujalasah” (besimpuh kepada Allah Ta’ala).

Seperti menu makanan yang harus dimakan setiap hari, setelah hati mampu menikmati kenikmatan dzikir itu, maka dzikir-dzikir yang harus dilaksanakan setiap hati itu sebagai kewajiban pribadi yang sudah di Bai’ati di hadapan guru mursidnya_ tidak lagi menjadi beban hidup yang harus di tanggungnya, tapi malah menjadi kebutuhan hidup yang sudah tidak dapat ditingalkan lagi.

Yang demikian itu karena hati seorang hamba telah wushul kepada tuhannya sehingga matahatinya mampu bermusyahadah kepadanya.melihat dan menyaksikan keelokan Qodho’ dan Qodar nya.seperti orang yang sedang kasmaran yang duduk disisi kekasihnya. Maka kenikmatan didalam kebersamaan itu mampu mengalahkan kenikmatan lain yang ada di alam sekitarnya.

  1. Ketika seorang salik sudah dapat merasakan kenikmatan berdzikir, maka dibuka baginya pintu kedekatan dengan Allah Ta’ala.

*) Dengan dibukanya pintu kedekatan itu, maka dimanapun mereka berada, seorang salik itu merasa berada di sisi Allah Ta’ala. Berada dalam perlindungan, pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga kenikmatan-kenikmatan hidup yang selama ini terhijab oleh ketamakan dan kerakusan hati serta pengakuan hawa nafsu, kini matahati itu telah menjadi cemerlang anugrah ilahi itu menjadi tampak terang di pelupuk mata. Yang demikian itu menjadikan hatinya merasa malu kepada Allah Ta’ala betapa selama ini dia belum pernah mensyukurinya.

Hasilnya sejak itu hidupnya menjadi penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tidak merasa ada yang kurang suatu apapun lagi sehingga mampu menerbitkan rasa syukur yang hakiki.

Setelah syukur itu mampu menjiwai prilaku dan karakter kehidupannya, maka Allah akan menurunkan tambahan kenikmatan lagi, sehingga didalam menempuh kehidupan selanjutnya, mereka tidak merasa takut dan khawatir lagi untuk selama lamanya.

Itulah ilmu yakin yang didapatkan dari buah ibadah yang tidak mungkin didapat melalui proses belajar mengajar. Ilmu yakin itu adalah ilmu yang maha luas seperti samaudra yang tak bertepi dan dari situlah kehidupan hati seorang hamba menjadi hati yang khusu’.

  1. Kemudian diangkat menjadi maqam keriduan dengan Allah

*) Setelah hijab-hijab yang menyelimuti mataha itu menjadi sirna sehingga hati itu merasakan setiap kenikmatan yang ada terlebih disaat salik itu mengadakan pendekatan taqarup dengan ibadah dan mujahadah selanjutnya timbullah rasa rindu kepada Allah Ta’ala rindu untuk selalu mendekat ke hariba’an Nya

Hasilnya dalam keadaan bagaimana dan dimanapun berada kecemerlangan hati itu selalu dijaganya. mereka takut kalau kalau kejernihan itu menjadi keruh kembali sehingga apapun yang dilakukan baik ibadah vertikal maupun horizontal dilaksanakan semata mata untuk menjaga hati itu supaya tidak terjadi keruh lagi. Allah menggambarkan keadaan itu dengan firmannya:

Laki-laki yang tidak dilalaikan dengan perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan(dari) membayarkan zakat. mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”QS.an-Nur.24/37.

  1. Selanjutnya seorang salik itu didudukkan di atas kursi-kursi ketauhidan. Artinya dalam keadaan bagaimanapun hatinya akan selalu mampu bertauhid kepada Allah Ta’ala.

· Pertama : Bertauhid didalam tujuan (tauhiidul qoshdi)

· Kedua : bertauhid didalam perbuatan (tauhiiddul fi’il)

· Ketiga : Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki)

· Keempat : Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud)

*) Dengan terbukanya empat tahap pintu tauhid itu, menjadikan seorang hamba dapat terhindar dari perbuatan syirik, baik syirik didalam tujuan amal, didalam amal perbuatan, didalam hak pemilikan dan syirik didalam wujud. Selanjutnya menjadikan seorang salik mampu tidak takut dan tidak berharap lagi kecuali hanya kepada Allah Ta’ala. Itulah kekuatan akhidah yang tidak cukup hanya dibangun dengan penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun juga harus dengan pelaksanaan amal ibadah yang istiqomah.

Kalau orang hanya mengerti tentang tauhid secara teori saja, bukan tauhid yang dibangun dengan dzikir dan wirid yang istiqomah didalam hati, maka tauhid itu dominan dilahirkan dengan ucapan dibibir saja, bahkan seringkali diatualisasikan dengan mensyirikkan dan membid’ahkan amal ibadah orang lain. akibatnya seperti maling teriak maling, karena sejatinya tanpa sengaja mereka sendirilah yang suka berbuat syirik dan bid’ah itu, Statemen itu dapat meresahkan umat dan perpecahan masyarakat dimana mana.

Demikianlah yang banyak dilakukan oleh para pendatang baru didalam komunitas masyarakat. Di komplek komplek yang heterogen. Sebelum mereka datang, aktifitas keagamaan di tengah masyarakat yang heterogen itu berjalan dengan damai. Namun setelah mereka datang dengan mengatas namakan amal ma’ruf nahi mungkar, mereka malah memporak porandakan kedamaian tersebut dengan statemen “syirik dan bid’ah yang mereka budayakan. sebagai ciri khas yang paten akan keberadaan mereka dimana-mana.

Seperti tentara-tentara setan yang bertugas mengadu domba manusia, biasanya mereka hanya menyalahkan kebiasaan yang dilakukan masyarakat setempat yang jelas-jelas menunjukkan hasil yang positif. Yaitu kerukunan dalam pergaulan bermasyarakat. Karena masyarakan telah terbiasa menerima perbedaan yang ada. namun setelah mereka datang masyarakat malah menjadi bingung dan terpecah belah .mereka mengatakan yang demikian itu amar ma’ruf nahi mungkar tapi mengapa hasilnya justru kemungkaran yang akhirya menjadikan kekacauan dan perpecahan yang berkepanjangan.

Yang demikian itu sejatinya tauhid mereka hanya dibibir saja sedangkan hatinya penuh dengan syirik dan kemungkaran telah mampu dibuktikan sendiri oleh hasil kinerja mereka ditengah tengah masyarakat. ironisnya sarang mereka justru dimasjid-masjid yang dibangun oleh jerih payah masyarakat yang kemudian mampu dikuasai oleh keserakahan hati mereka yang dibungkus dengan managemen secara propesional dan sistematis. melengserkan kepengurusan terdahulu yang notabene masyarakat tradisional dan awam.

  1. Setelah tauhid yang ada dalam hati salik itu semakin mapan, kemudian hijab-hijab dalam hatinya diangkat dan hati mereka di masukkan kedalam pintu wahdaniyah.

*) Kekuatan suluk (mistikisme) yang mampu diaktualisasikan di dalam dzikir dan wirid istiqomah yang di dasari tauhid yang hakiki, menjadikan hati seseorang hamba fana dihadapan Tuhannya. Nuraninya menyatu didalam rahasia keesaan-Nya.seperti segelas racun ketika dituangkan di tengah samudra maka air yang campur dengan racun itu seketika menjadi air murni lagi.Demikianlah, hati manusia yang telah tercemari kotoran basyariah itu, dengan pelaksanaan suluk yang terkendali, akhirnya hati itu kembali kepada fitrahnya lagi.

Yang demikian itu karena sejatinya asal mula air racun dan air samudra itu memang terlahir dari benda yang sama. Seandainya yang satu dari minyak dan satunya dari air, meski dicampur dengan cara yang bagaimanapun kuatnya , keduanya pasti tidak dapat bersatu untuk selamamanya. Itulah gambaran hati yang beriman dan hati yang kafir. mesti kadang-kadang mereka telah mampu menunjukkan penampilan dhohir yang sama, sama-sama melaksanakan ibadah dibawah satu atap masjid yang sama, bahkan sama sama memakai baju dan pecis putih didalam suatu komunitas majlis dzikir yang dibimbing oleh seorang guru mursid yang suci lagi mulia, namun kehidupan mereka tidak mampu menunjukkan sikap persaudaraan yang saling bermusuhan dan sikut sikutan dengan dasar kemunafikan hati yang tidak berkesudahan.

  1. Setelah yang asalnya berbeda itu telah mampu kembali ke asalnya, kembali ke haribaan-Nya di dunia fana, maka selanjutnya dibuka penutup-penutup keagungan dan kebesaran Allah yang selama ini menutupi sorot matahatinya, dan ketika matahati yang tembus pandang itu selalu melihat keagungan dan kebesaran tuhannya maka jadilah hati itu menjadi fana dengan dirinya sendiri.
  2. Selanjutnya, disampaikanya kepadannya, penjagaan dan pemeliharaan Allah. Adapun penjagaan dan pemeliharaan pertamakali yang diberikan ialah, seorang hamba itu dijaga dan dipelihara dari pengakuan nafsunya sendiri. Maka jadilah ia seorang waliyullah.(dikutip dari pengajian rutin,Asy-Syekh Ahmad Asrori al Ishaqi ra.)

*) Tujuh tahapan futuh tersebut adalah tahapan terbukanya matahati seorang hamba untuk dapat bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah Ta’ala yang harus dicapai melalui jalan ibadah (thoriqoh) yang terbimbing oleh Ahlinya (guru mursid yang suci dan mulia)

Manakala jalan ibadah itu tidak ada yang membimbing maka pembimbingnya adalah setan Jin, sehingga amal ibadah itu bukan menghasilkan ma’rifattullah yang menjadikan hati menjadi khusu’, tapi boleh jadi kelebihan-kelebihan pribadi yang sifatnya duniawi hingga malah mendorong manusia terperangkap kepada tipu daya setan yang terkutuk.

Akibatnya, hasil akhir dari mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan itu hanya akan menjadikan para salik terlahir menjadi dukun dan para normal yang cenderung berbuat syirik, sombon dan takabur. Terlebih lagi, ketika dukun dan para normal itu terlahir dari orang yang notabene lulusan pesantren. Orang yang pandai membaca kitap kuning dan berpidato. Orang awam menilai, dikira yang demikian itulah gambaran kyai yang ideal. Kyai yang mempuyai karomah dan sakti mandraguna. Sehingga para awam itu tidak ragu lagi mengikuti praktek yang yang mereka lakukan dalam pencarian jalan keluar dari problem dari kehidupan yang sedang melilit kehidupan yang sedang sakit itu. Kecuali para awam itu telah habis habisan terpelosok didalam jebakan tipudaya mereka.

Inilah awal kehancuran bagi orang yang senang beribadah dengan tanpa bimbingan seorang guru ahlinya-yang tidak mudah dapat disadari kecuali setelah mereka benar benar hancur sama sekali. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari tipu daya hawa nafsu dan setan yang terkutuk.

Oleh karena itu tidak cukup dengan ilmu saja yang didapat dari membaca buku dan kitab kemudian orang itu berangkat untuk berjalan di jalan Allah dalam rangka mengamalkan ilmu tersebut. Namun ilmu itu terlebih dahulu digurukan terlebih dahulu kepada guru ahlinya. Selanjutnya dengan bimbingan guru itu, ilmu yang sudah dikuasai itu, baru dipraktekkan didalam pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh. Sebab yang harus diilmui dengan ilmu itu, terlebih dahulu adalah hatinya sendiri.supaya hati itu terbebas dari kotoran karakter basyariah yang dapat menyesatkan jalannya ibadah.

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani ra. Berkata :

Seorang tidak akan dibuka hatinya kecuali bagi mereka yang telah bersih dari pengakuan nafsu dan kemauan syahwatnya. Maka ketika seorang teledor untuk mensucikan jiwanya, ia diuji oleh Allah dengan sakit. Sebagai kafarat dan pensucian terhadap jiwanya,sadar maupun tidak. Supaya di pantas untuk bermujalasah dihadapan tuhanya.(Lujjainid Dani)

(malfiali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar