Selasa, 27 Januari 2009

Tazkiyatun nafs/Penyucian Hati 2

PUASA

Supaya manusia menjadi baik, terlebih dahulu yang harus dijadikan baik adalah hatinya. Padahal baik dan buruknya hati bergantung bagaimana manusia mengelola nafsu syahwatnya. Untuk tujuan itu maka orang beriman diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadhan dan disunahkan berpuasa di lain bulan ramadhan. Dengan puasa itu supaya mereka mampu melatih diri untuk mengendalikan nafsu syahwat sehingga hatinya menjadi bersih dan suci dari segala kotoran manusiawi. Itulah keadaan hati orang bertakwa.

Allah s.w.t. memuji orang yang mau menyucikan jiwanya. Yakni orang yang selalu menjaga hatinya dari sifat-sifat yang tidak terpuji, seperti riya’, syirik dan cinta dunia. Sifat-sifat basyariyah (manusiawi) yang mampu menjerumuskan orang kepada sifat syaithoniyah (sifat setan), yakni sombong, hasud dan munafik kepada teman sendiri. Sifat-sifat tersebut mampu menghancurkan kehidupan manusia baik di dunia mapun di akhirat. Allah mengabadikan pujian itu dengan firman-Nya: “Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri ! Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu ia sembahyang QS. A’laa; 87/14-17.

Sungguh beruntung orang-orang yang menyambut pujian itu dengan melaksanakan pengabdian hakiki. Mereka mengisi kesempatan ibadah yang dibentangkan di dalamnya. Siangnya dengan puasa dan shodaqoh, dan malamnya dengan melaksanakan ibadah tambahan yang lain, seperti tahjud dan mujahadah lainnya. Dengan demikian itu berarti mereka telah melaksanakan at-tazkiyah.

Untuk melaksanakan al-tazkiyah (penyucian jiwa) yang sesungguhnya, orang beriman harus melaksanakan tiga tahap ibadah:
Pertama: Menyucikan hati dari segala kotoran basyariah. Dengan memadukan ilmu pengetahuan dan iman dalam pelaksanaan amal ibadah. Baik di dalam pelaksanaan puasa, shalat, haji, maupun mujahadah dan riyadlah. Hal tersebut dilakukan semata-mata bertujuan untuk menghapus kotoran-kotoran yang sudah menempel di dalam jiwa. Dengan penyucian jiwa itu supaya hasil ibadah yang dilakukan benar-benar menjadi ‘buah ibadah’ yang bersih dan suci dari segala kotoran basyariah.

Pelaksanaan ibadah itu dinamakan “Mujahadah” atau bersungguh-sungguh di jalan Allah. Berbentuk kekuatan ibadah sebagai buah ilmu pengetahuan secara rasional, yakni kekuatan yang diterbitkan oleh keyakinan yang dihasilkan sebuah proses belajar dan mengajar yang juga disebut ”Ijtihad”. Mujahadah tersebut akan menghasilkan pemahaman hati akan urusan ketuhanan yang mampu membangkitkan semangat pengabdian yang hakiki yang juga disebut “ Jihad”. Jadi, munculnya semangat jihad itu adalah hasil mujahadah dan munculnya mujahadah itu adalah hasil ijtihad. Sebagai sunatullah, apabila usaha yang pertama itu dilaksanakan dengan benar maka hasil-hasil berikutnya akan menjadi benar pula. Maksudnya, apabila ijtihad itu dilaksanakan dengan benar, maka mujahadahnya juga akan menjadi benar dan selanjutnya jihadnya juga menjadi benar.,

Manakala pelaksanaan ibadah tidak terlebih dahulu bertujuan menyucikan jiwa, maka hasilnya bisa jadi terkontaminasi kotoran duniawi. Akibatnya, aktualisali “semangat jihat” itu tidak selalu mampu diarahkan kepada hal yang positif. Seperti membangun “ukhuwah islamiyah” misalnya, tetapi malah sebaliknya, yakni menciptkan perpecahan di antara umat Islam. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang demikian. Pelaksanaan semangat jihad yang mestinya positif itu ternyata malah menimbulkan keresahan berkepanjngan.

Semangat jihad itu bahkan oleh kelompok orang telah diaktualkan dengan meledakkan bom. Kondisi dalam hati yang semestinya mampu membawa kemanfaatan untuk manusia itu malah menimbulkan korban orang-orang yang tidak berdosa. Apabila hal semacam itu mereka laksanakan pada masa perang, maka para peledak bom itu tentunya mendapatkan penghargaan yang tinggi. Namun sayangnya bom-bom itu mereka ledakkan bukan pada saat yang tepat. Akibatnya, disamping peristiwa yang memalukan itu menorehkan catatan sejarah jelek bagi semangat perjuangan Islam sejati, semangat suci itu juga menjadi ajang bunuh diri yang tiada arti.

Artinya dengan menghancurkan sebagian kecil dari sarang kemaksiatan itu, ternyata pengorbanan mereka tidak berhasil membuat perubahan yang berarti. Semangat jihat mereka itu terbukti tidak berhasil menghancurkan kemaksiatan yang sedang meraja lela di negeri tercinta ini, bahkan malah menghadiahkan sebutan jelek bagi mereka sendiri. Mereka dicap sebagai teroris dan sebagaian mereka harus mengakhiri hidupnya di hadapan regu tembak dalam penjara.

Akibat dari peristiwa tersebut malah muncul image negatif di masyarakat. Orang-orang yang sesungguhnya mampu menunjukkan penampilan sebagai seorang muslim yang taat, yakni berjilbab hitam dan bercadar bagi kaum wanitanya, dan berjenggot bagi kaum prianya, namun ternyata oleh sebagian kalangan mereka itu malah dicurigai sebagai antek-antek teroris yang dijadikan target operasi oleh pihak aparat.

Yang demikian itu bukan semangat jihad itu yang harus disalahkan. Karena tujuan semangat jihat itu sejatinya juga untuk menegakkan kebaikan, yaitu mengamalkan ilmu dan keyakinan yang ada di hati mereka. Namun barangkali karena ilmu dan keyakinan tersebut terlebih dahulu sudah terkontaminasi cacat bawaan. Oleh karena kotoran dalam hati tidak terlebih dahulu mampu dibersihkan, maka giliran dalam tataran pelaksanaannya, semangat yang positif itu tidak mampu dibarengai dengan hati yang positif, yaitu kasih sayang kepada umat. Akibatnya, yang timbul di dalam hati mereka hanya merasa benar sendiri dengan menyalahkan orang lain tanpa dapat mencarikan jalan keluar dengan cara yang arif dan bijaksana.

Kedua: Memasukkan cinta dan ma’rifat di dalam hati. Setelah orang beriman mampu merampungkan tazkiyah dengan benar, sebagai pahala ibadah yang dijalani, di dalam jiwa mereka akan tumbuh pemahaman hati akan rahasia urusan Ilahiyah yang disebut “ma’rifatullah”. Dengan ma’rifatullah itu menjadikan seorang hamba mencintai Tuhannya dengan benar.

Manakala dengan pelaksanaan ibadah itu seorang hamba berhasil mengeluarkan penyakit-penyakit jiwanya sendiri, baik penyakit akal, hati maupun ruh, maka sesuai ukuran yang sudah dikeluarkan itu Allah akan mengisi kekosongannya dengan obat-obat yang menyembuhkan. Hal itu dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka terhadap mereka itulah Allah akan mengganti kejelekannya dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Furqon; 25/70)

Ketika seorang hamba berzikir kepada Allah dengan do’a-do’anya dan Allah menjawab zikir itu dengan ijabah-Nya, keadaan itu seperti yang dinyatakan dengan firman-Nya: “Fadzkuruunii adzkur kum” (Berzikirlah kamu kepada-Ku dan Aku akan berzikir kepadamu), maka saat itu terjadilah “Interaksi Nurriyah” antara seorang hamba dengan Tuhannya. Arus balik dzikir dari Allah itu berbentuk Nur kehidupan. Ketika nur itu dimasukkan di dalam rongga dada yang bersih, rongga dada yang semula sempit menjadi lapang. Sungguh benar Allah dengan Firman-Nya: “Bukankah orang-orang yang dibukakan hatinya untuk menerima agama Islam, maka mereka itu telah mendapatkan Nur dari Tuhannya. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Az-Zumar; 39/22)

Itulah Nur kehidupan, ketika dipancarkan dalam rongga dada manusia, maka akal yang semula bodoh menjadi mengerti, hati yang semula keras dan kasar menjadi lentur dan penuh kasih, ruh yang semula redup menjadi cemerlang. Keadaan itu tidak hanya menjadikan orang menjadi pandai dan cerdas saja namun juga menjadikan mereka mampu mengabdikan segala pontensi hidupnya yang positif dengan cara yang positif pula. Mereka tidak hanya mampu memberikan kemanfaatan kepada dirinya sendiri saja namun juga kepada orang lain dan lingkungannya.

Ketiga: Menumbuhkan semangat pengabdian hakiki di dalam rongga dada. Orang yang hatinya telah disinari nur ma’rifatullah, orang tersebut pasti mencintai Allah. Barangsiapa mencintai Allah, berarti mereka pasti akan siap menjadi hamba-Nya. Oleh karena dampak dari cinta adalah cemburu, maka seperti itu pula keadaan orang yang mencintai Allah. Hati mereka marah ketika melihat orang lain terang-tarangan berbuat maksiat kepada-Nya, maka dari situlah awal mulanya tumbuh semangat benah-benah yang dinamakan dengan semangat jihad.

Namun apabila semangat yang positif itu tidak dibarengan hati yang positif, maka ditakutkan akan direalisasikan hanya sesuai pemahamannya sendiri. Akibatnya, terjadilah benturan-benturan di tengah masyarakat. Hal itu bisa terjadi, karena yang dimaksud kebaikan itu sesungguhnya adalah hal yang retatif, yakni bergantung pemahan dan ilmu pengetahuan manusia itu sendiri. Oleh karena itu tanpa adanya Nur kehidupan yang menyinari ilmu dalam akal, maka semakin orang berilmu tinggi, orang tersebut cenderung terjebak berbuat sekehendak nafsunya sendiri.

Walhasil, dengan segala amal ibadah dan pengabdian yang dijalani, baik di bulan Ramadhan maupun di luarnya, pertama kali yang harus diselesaikan oleh seorang hamba adalah membersihkan jiwanya sendiri. Yakni membersihkan ronga dada dari seluruh hijab-hijab basyariyah, baik dari kotoran dosa maupun sifat-sifat yang tidak terpuji, dengan itu supaya hati mereka menjadi jernih sehingga matahati yang ada di dalamnya menjadi cemerlang dan tembus pandang. Dengan matahati yang cemerlang itu, tentunya manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan.


PUASA SEBAGAI IBADAH RAHASIA

Ibadah puasa adalah ibadah rahasia, dalam arti tidak seorangpun dapat mengetahui kecuali Allah. Ketika orang mengaku puasa, dia benar puasa atau tidak, tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah. Orang mengaku puasa, lalu masuk kamar, di dalam kamar itu ia makan dan minum, ketika keluar dari kamarnya ia mengaku masih berpuasa. Tidak ada orang yang mengetahuinya kecuali Allah. Berbeda dengan ibadah yang lain, seperti shalat, haji, dan shadaqah, ibadah-ibadah itu di samping ibadah batin yakni dalam aspek niatnya, juga ibadah lahir dalam arti dapat dilihat oleh orang lain.

Oleh karena puasa adalah ibadah rahasia, maka tidak ada kemungkinan lain yang dituju kecuali hanya kepada Allah. Ketika yang dituju hanya Allah, maka yang akan menentukan balasannya juga hanya Allah. Adapun ibadah-ibadah yang lain, oleh karena di dalamnya masih terdapat potensi untuk syirik, baik di dalam tujuan maupun amal, maka pahalanya bergantung bagaimana niatnya. Di dalam HR. Muslim disebutkan:

ِكُلُّ عَمَلِ ابْنِ آَدَمَ يُضَاعَفُ . اَلْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضُعْفٍ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِىْ بِهِ

“Seluruh amal anak adam adalah dilipatgandakan , satu kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kalinya sampai tujuh ratus kali kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”.

Keutamaan Ibadah Rahasia
Ibadah rahasia itu bukan hanya ibadah puasa saja. Ibadah lain bisa dikatakan ibadah rahasia asal pelaksanaanya dirahasiakan sehingga tidak ada yang mengetahui kecuali Allah s.w.t. Ibadah tersebut, meski merupakan ibadah yang ringan, namun pahalanya bisa menjadi besar, karena ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah yang Maha Besar. Di dalam haditsnya, Rasulullah s.a.w mengabarkan keadaan yang sangat luar biasa bagi orang yang beribadah secara rahasia:

“Diriwayatkan dari Nabi Beliau bersabda: “Ketika hari kiamat telah tiba, akan datang suatu kaum yang mempunyai sayap seperti sayap burung, mereka terbang dengan sayap itu dari kuburnya ke kebun-kebun surga. Penjaga surga bertanya kepada mereka: “Siapa kalian?, mereka menjawab, kami dari umat Muhammad s.a.w. Penjaga surga bertanya: “Apakah kalian sudah melihat hisab? , mereka menjawab: “Tidak”. Penjaga surga bertanya lagi: Apakah kalian sudah melihat shiroth?, Mereka menjawab ,”Tidak”, Dengan apa kalian mendapat derajat ini?, mereka menjawab: “Kami beribadah kepada Allah dengan rahasia di dunia, dan Allah memasukkan kami ke surga dengan rahasia pula di akherat.






“menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu kesatuan amal”.

Qodo’ dan Qodar

Ibadah dhohir batin yang akan menjadikan hati menjadi yakin dan khusu’. Itulah yang dimaksud dengan “menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu kesatuan amal”.

Kalangan kita yang awam ini sering sulit dapat membedakan. Di dalam bagian hidup ini—dari perbuatan yang sehari-hari dikerjakan manusia—mana yang bagian alam azaliyah (qodo’) dan mana yang bagian alam hadits (qodar). Mana yang kehendak (irodah) basyariyah yang hadits dan mana kehendak (irodah) Allah Ta’ala yang qodim. Demikian pula, di dalam kehendak basyariyah kita yang hadits itu—ketika perbuatan itu sedang dikerjakan—mana di dalamnya yang termasuk bagian dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim. Sebab, tidak satupun kehendak manusia yang hadits melainkan pasti kehendak itu terbit dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim(azaliyah). Demikian pula, apabila dua alam itu(alam hadits dan alam qodim) dapat dipadukan manusia secara spiritual di dalam satu kesatuan amal ibadah dhohir yang hadits, maka amal ibadah yang hadits itu akan menjadi amal ibadah yang kuat dan sempurna. Setiap pribadi muslim pasti percaya adanya qodo’ dan qodar. Qodo’ adalah ketetapan Allah pada zaman azali yang sifatnya qodim sedangkan qodar adalah pelaksanaan qodo’ itu pada zaman sekarang yang hadits. Sebabnya, iman qodo’ dan qodar itu adalah termasuk di dalam rukun iman yang keenam. Bahkan seorang muslim percaya bahwa baiknya dan jeleknya juga adalah dari Allah Ta’ala (khoirihi wa syarrihi minallaahi Ta’ala). Namun, barangkali yang kurang dipahami banyak orang adalah cara mengetrapkan qodo’ qodar itu di dalam iman, yaitu memadukan antara qodo’ dan qodar itu secara spiritual di dalam satu amal yang dhohir. Secara teori, atau ilmu yang harus diimani oleh yang beriman adalah, bahwa setiap kejadian yang telah atau sedang terjadi, pasti sebelumnya sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala pada zaman azali. Masalahnya, ketika kejadian itu terbit dari perbuatan manusia, dari kehendak pribadi yang hadits, maka sering timbul suatu pertanyaan: “Kalau apa-apa yang sedang dikerjakan manusia itu adalah sesuatu yang sudah ditentukan Allah Ta’ala pada zaman azali……..?, maka apa arti kehendak dan perbuatan manusia itu disaat manusia itu sedang mengerjakan pekerjaannya…?.

Bahkan ada yang bertanya lebih ekstrim, yang kadang-kadang sering dimunculkan di dalam majlis-majlis pengajian dan forum diskusi yang sifatnya umum. Mereka bertanya: “Kalau perbuatan jelek manusia yang dapat mengakibatkan manusia terjerumus masuk ke neraka itu, juga adalah apa-apa yang sudah dikehendaki Allah Ta’ala pada zaman azali, berarti, bukankah Allah juga punya andil dalam kejelekan itu……? Kalau demikian mengapa manusia sebagai pelaksana kehendak-Nya dimasukkan ke neraka..?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang dapat menggangu pemikiran awam, yang kalau dibiarkan dapat merusak aqidah yang baru tumbuh.

Oleh karena itu, urusan qodo’ dan qodar ini tidak banyak dibicarakan oleh para ulama’ salaf, terlebih kepada yang bukan ahlinya dan di majlis-majlis yang sifatnya umum. Karena, mereka takut ada yang salah dalam pemahaman, terlebih bagi yang belum mampu menerimanya. Demikian juga, karena di dalam urusan qodo’ dan qodar itu banyak hal yang menyangkut ilmu rasa atau ilmu mukasyafah (intuisi), bukan sekedar ilmu rasional. Maha Suci Allah dari segala imajinasi manusia.

Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga kita dari kesalahan yang fatal dalam berbicara. Berangkat dari pembicaraan bahwa manusia adalah seorang kholifah Allah di muka bumi, yaitu sumber pelaksana di muka bumi. Oleh karena kebanyakan manusia melupakan hakikat kekholifahan itu, maka dalam kaitan memahami qodo’ dan qodar ini menjadikan kebanyakan mereka menjadi kurang mampu untuk memahaminya. Maksudnya, bahwa secara sunnah (sunatullah) manusia telah ditentukan sang Pencipta yang Maha Kuasa sebagai tenaga pelaksana di muka bumi. Dengan itu supaya disana tercipta amal dan karya. Karena hanya dengan amal dan karya itulah manusia akan mendapatkan bagian yang sudah ditentukan Allah Ta’ala untuk dirinya. Baik berupa sarana kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Sarana-sarana kehidupan manusia itu, kalau diibaratkan buah mangga, maka buah mangga itu masih bergantung di pohonnya. Meski buah mangga itu sudah diperuntukkan bagi seseorang, apabila orang tersebut tidak mau berusaha mengambilnya, maka buah mangga itu tidak akan datang sendiri kepangkuannya. Demikian juga, cara mengambil buah mangga itu, karena buah itu masih tergantung di pohonnya, maka haruslah dengan ada kemauan dan kemampuan serta sarana pendukung yang memadai. Yang demikian itupun juga sunnatullah yang sejak ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jatah2 yang sudah ditentukan bagi dirinya itu, selama hidupnya manusia harus berbuat dan berusaha. 2 Kaitan jatah ini Allah Ta’ala telah menyatakan dengan firman-Nya yang artinya: “Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan keutamaan(yang sudah ditentukan bagi)nya”.QS.Hud/3.

Tidak boleh hanya tinggal diam saja. Manusia harus membangun dan mengelola sendi-sendi kehidupannya. Secara universal dan meliputi setiap sendi yang ada yang dimulai dari hidupnya sendiri, keluarga, rumah tangga dan lingkungannya. Dimana saja berada dan sebagai apa saja, manusia harus mampu berbuat amar ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar. Karena dengan amar ma’ruf nahi munkar itulah, kehidupan di muka bumi ini akan benar-benar menjadi hidup subur dan makmur. Allah Ta’ala telah menyatakan sunnah tersebut dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. QS: Ar’d/11.

Untuk menjalankan fungsi kekholi-fahan tersebut, manusia mendapatkan hak untuk bebas menentukan pilihan hidup (Huriyatul Irodah). Maksudnya, manusia yang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Dengan amal kebaikan atau keburukan, meski masing-masing keduanya akan membawa dampak dan konsekwensi yang harus mampu dipertanggungjawabkan sendiri oleh manusia. Oleh karena itu, supaya manusia tidak salah dalam memilih dan juga supaya tercipta aturan main yang adil dan bertanggungjawab di muka bumi, maka Rasul-rasul dan para Nabi saw. diutus sebagai pemimpin dan pembimbing manusia serta kitab-kitab langit diturun-kan sebagai pedoman dan rambu-rambu jalan yang harus ditaati. Disamping yang demikian itu, manusia juga telah dilengkapi dengan indera-indera kehidupan, baik indera yang dhohir maupun yang batin. Indera-indera itu adalah sarana, sebagai perangkat-perangkat atau alat mekanik supaya manusia dapat menjalani hidup dan kehidupannya dengan layak dan sempurna. Untuk mengendalikan seluruh anggota tubuh yang ada, seperti kaki, tangan, mata, telinga, dan lisan, manusia telah dilengkapi pula oleh Sang Maha Pencipta Yang Maha Pemurah dengan tiga perangkat pokok, yaitu nafsu, akal dan hati, atau lazim disebut emosional, rasional dan spiritual.

Dengan ketiga perangkat pengendali tersebut, manusia harus menentukan jalan hidupnya untuk sebuah karya. Mengisi lembaran-lembaran buku putihnya dengan sejarah dan perjalanan hidup yang secara dhohir dirinya sendiri diberi kesempatan untuk memilih sendiri, dengan amal kebajikan atau amal kejahatan. Apabila manusia memilih meng-gunakan akalnya untuk memperturutkan nafsu dan hawanya berarti manusia telah berbuat maksiat dan mendapatkan dosa. Namun apabila dengan akal itu manusia memilih menahan nafsunya dan mengikuti kehendak hatinya berarti manusia telah berbuat taat dan mendapatkan pahala. Kesempatan untuk memilih itu, yang juga disebut “Huriyatul Irodah”, sejatinya adalah anugrah terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Namun demikian, dengan anugrah itu, boleh jadi manusia dimasukkan ke neraka atau ke surga. Itulah yang dimaksud dengan fungsi kekholifahan itu, yang hanya diberikan Allah Ta’ala kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang lainnya. Yang demikian itu karena sekali-kali Allah Ta’ala tidak berbuat zalim kepada hamba-Nya. Adapun makhluk selain manusia, kecuali Jin, malaikat sekalipun, mereka hanya menjalankan suratan hidupnya yang telah ditentukan dengan ketat tanpa ada kesempatan untuk memilih. Oleh karena itu, meski binatang kadang-kadang menjalankan hidupnya dengan semaunya sendiri. Yaitu tidak perduli barang orang lain yang mestinya harus dijaga, asal ada kesempatan pasti akan disikat juga, seperti kalau manusia adalah perbuatan seorang koruptor, apabila pekerjaan itu dilakukan oleh binatang maka binatang itu tidak akan dimasukkan ke penjara, baik penjara di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena sejatinya binatang itu tidak mempunyai pilihan hidup.

Tidak seperti manusia. Secara dhohir manusia harus memulai dan memilih, itulah amal. Dengan amal itu supaya ada sebab-sebab dhohir, yang akhirnya juga akan melahirkan akibat yang dhohir pula. Maka, apabila manusia hanya memilih bagian hidup yang senang saja, pada gilirannya, suatu saat pasti manusia akan menemukan bagian hidupnya yang susah. Yang demikian itu, oleh karena senangnya sudah dihabiskan di depan, maka dikemudian hari, yang akan tersisa hanya tinggal susahnya saja. Itulah hukum sebab akibat, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya. Namun demikian, sejatinya sebab dan akibat itu terjadi hanya mengikuti suratan takdir yang sudah ditentukan Allah Ta’ala sejak zaman azali.

Allah telah tegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. QS.al-Qoshosh.28/68.

Disinilah para awam kadang-kadang mengalami kebingungan. Mana bagian yang qodo’ dan mana bagian yang qodar ketika qodo’ dan qodar itu dikaitkan dengan satu amal perbuatan yang sedang dilakukan manusia. Untuk dapat memisahkan antara qodo’ yang azaliyah di dalam satu pelaksanaan amal hadits yang sejatinya juga adalah takdir Allah Ta’ala tersebut, yang terpenting bagi manusia adalah kemampuannya dalam memahami dan mengenali dirinya sendiri. Bahwa pada diri manusia itu ada dua kehendak atau irodah. Yang satu irodah azaliyah dan ia sudah ditentukan Allah Ta’ala sebagai qodo’-Nya sejak zaman azali dan yang satunya adalah irodah hadits, yaitu kehendak manusia yang sekarang yang sesungguhnya adalah merupakan qodar, atau takdir-Nya sekarang. Maka yang dimaksud dengan memadukan antara qodo’ dan qodar dalam satu amal perbuatan itu ialah, memadukan antara irodah azaliyah dengan irodah hadits yang ada pada diri manusia itu sendiri. Yaitu memadukan dua konsep dalam satu perasaan pengabdian dan ibadah secara rasional. Yang satu konsep langit dan yang satu konsep bumi. Konkritnya, ketika seorang hamba sedang menjalankan ibadah, baik vertikal maupun horizontal, hendaknya dia selalu ingat dan sadar serta mengetrapkan ingatan tersebut di dalam satu perasaan, bahwa ibadah yang sedang dikerjakan itu sejatinya adalah apa yang sudah di dahului oleh ketentuan Allah Ta’ala sebagai qodo’-Nya pada zaman azali sedangkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya sekarang, semata-mata adalah pelaksanaan dari ketentuan azali itu atau qodar-Nya. Maka, dalam ibadah yang sedang dilaksanakan itu, seorang hamba harus mampu menerapkan tiga tahapan penerapan di dalam perasaannya:

1. Seorang hamba haruslah selalu mampu sadar, bahwa dia adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala. Dari sekian makhluk ciptaan itu, sekarang, dirinya adalah sekaligus yang dipilih untuk menjadi seorang hamba yang mendapat kesempatan untuk menjalankan ibadah dan bermunajat di hadapan-Nya. Namun demikian, dia

juga harus sadar, bahwa ibadah yang sedang dikerjakan tersebut sejatinya sudah ditentukan-Nya—sebagai qodo’-Nya—sejak zaman azali, sedangkan keadaan yang sekarang ini hanyalah sekedar pelak-sanaan dari ketentuan tersebut sebagai qodar-Nya. Dengan yang demikian itu, maka saat itu dua pilihan telah menyatu menjadi satu. Yang satu pilihan manusia sebagai seorang Kholifah Bumi yang harus beramal dan mengabdi, dan yang satunya, hakikatnya adalah pilihan Allah Ta’ala yang sudah ditentukan sejak zaman azali, yaitu supaya saat itu sang Kholifah mampu mengabdi dengan pengabdian yang hakiki. Allah Ta’ala telah membongkar rahasia itu dengan firman-Nya:

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. QS.al-Qoshosh.28/68.

Adalah penyatuan dua kehendak di dalam satu amal perbuatan. Yang satu kehendak yang hadits dan yang satunya kehendak yang qodim. Ketika kehendak yang hadits tersebut benar-benar dapat menyatu dengan kehendak yang qodim, maka yang hadits seketika menjelma menjadi qodim. Adalah sunnatullah, maka siapapun dapat mencapai sunnah itu asal mampu mancapainya dengan cara(sunnah) yang benar pula.

Rasulullah saw. membongkar rahasia itu dengan sabdanya yang artinya: “Permulaan dzikir adalah

gila(junun), pertengahan-nya adalah fana(funun) dan akhirnya adalah “kun fa yakun”(jadilah maka jadilah ia).

2. Kalau kemudian terbit di dalam pengakuan akal manusia bahwa pengabdian yang sedang dilaksanakan itu adalah bentuk amal perbuatan yang sedang dikerjakan dan diusahakannya sendiri, maka hendaklah dia cepat-cepat ingat pula bahwa sejatinya dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala. Kalau manusia adalah makhluk yang diciptakan-Nya berarti apa saja yang sedang diperbuat oleh manusia, berarti pula adalah ciptaan-Nya. Allah Ta’ala telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". QS:37/97.

Dengan itu, maka dua perbuatan menjadi satu dalam kesatuan amal dan ibadah yang sedang dikerjakan oleh seorang hamba secara hakiki adalah ciptaan-Nya juga.

3. Ketika akal seorang hamba ingat bahwa amal perbuatan itu pastilah telah didahului dengan kehendak (irodah) nya sekarang yang hadits maka segeralah seorang hamba ingat pula bahwa irodahnya yang hadits itu pun seejatinya adalah telah terlebih dahulu berangkat dari kehendak (irodah) Allah Ta’ala yang azali yang qodim. Allah Ta’ala telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:

“Dan bukan kamu berkehendak (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS. al-Insan.76/30.

Saat itu, maka dua kehendak (masyi’ah) dalam satu amal telah menyatu dalam kesatuan kehendak. Yang satu kehendak seorang hamba yang hadits dan yang satunya adalah kehendak Allah Ta’ala yang qodim. Artinya, bahwa kehendak seorang hamba yang sekarang ini, sejatinya hanyalah sekedar pelaksanaan (qodar) yang diterbitkan dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim(qodo’) yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Ketika dua pilihan telah menyatu di dalam satu

perbuatan. Dua amal menjadi satu di dalam satu penciptaan. Dua irodah telah larut di dalam satu kesatuan amal ibadah. Artinya ketika amal yang hadits itu telah menyatu dengan amal yang qodim, sehingga yang hadits akan menjelma menjadi qodim, dengan yang demikian itu, dengan izin Allah Ta’ala, dua energi akan bertemu dan menjadi satu dalam kesatuan amal perbuatan. Yang satu usaha seorang hamba untuk mengabdi dan yang satu adalah inayah Allah Ta’ala supaya amal perbuatan seorang hamba menjadi suatu pengabdian yang hakiki. Adalah penyatuan dua energi yang akan mampu menciptakan energi yang luar biasa. Maksudnya, energi bumi dengan energi langit ketika telah mampu disatukan dalam satu kesatuan sunnah, maka dengan izin Allah, “sunnah” itu akan mampu merubah sunnah-sunnah yang sudah ada. Itulah energi “karomah” yang hanya dimiliki oleh para kekasih Allah Ta’ala(waliyullah) yang suci lagi mulia.

Yaitu orang-orang yang kekhusu’an hatinya dalam menempa diri, baik dhohir maupun batin telah berhasil mensucikan ruhani(ruh)nya dari segala kotoran dan penyakit duniawi hingga ruhani itu kembali sebagaimana fithrahnya. Selanjut-nya, dengan izin Allah, apa saja yang dijumpainya, baik makhluk yang dhohir maupun yang batin akan mampu mengikuti komando hatinya untuk bersama-sama kembali kepada sebagai-mana fithrahnya Yang demikian itu, ketika kehendak nafsu dan akal telah sepakat secara totalitas mengikuti kehendak hati, maka hati akan leluasa terbang tinggi. Bagaikan sehelai rambut dicabut dari adonan roti, hati itu dengan mudah melakukan pengembaraan yang dikehendaki. Membuka dan memasuki pintu-pintu langit dengan kunci rahasia dan kendaraan yang sudah tersedia. Pulang pergi bermi’raj di dalam hamparan lembah yang disucikan dengan sesuka hati karena Inayah telah memfasilitasi.

Itulah anugerah yang utama, maka sebuah amal yang asalnya lemah dan hina, karena sekedar perbuatan seorang hamba yang hadits, akan menjadi kuat dan mulia karena telah mendapatkan inayah dari Dzat Yang Maha Mulia yang qodim. Untuk itulah, maka Allah SWT. Telah menganjurkan kepada seorang hamba yang sedang mengadakan pengembaraan malam dengan membaca sebuah do’a:

“Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. QS:17/80.

Yaitu, supaya hati seorang pengembara dapat masuk dan keluar di alam ruhaniyah(ghaib) dengan benar, sang pengembara malam itu harus mendapat-kan kekuasaan yang menolong (Sulthonul Ilahiyat), itulah “Inayah Allah” yang akan diberikan kepada hamba-hamba yang dikehendaki. “Inayah azaliyah” yang sejatinya telah dipancarkan-Nya sejak zaman azali. Bagaikan sinar mentari pada titik kulminasi, maka seorang hamba yang mencari sinarnya tinggal menempatkan diri untuk disinari.

Konsep Langit dan Konsep Bumi

Dalam kaitan menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu amal ini, kewajiban pertama bagi seorang salik adalah memperkaya diri dengan dua konsep tersebut. Konsep langit yang juga disebut Ilmu Hakikat dan konsep bumi yang juga disebut Ilmu Syari’at. Dua dimensi ilmu yang telah banyak dibentangkan Allah Ta’ala baik di dalam Al-Qur’an Al-Karim maupun di dalam hadits Rasulullah saw. Seperti mutiara yang berserakan, tinggal manusia mampu menguntai dari keduanya dengan sebanyak-banyaknya. Agar dengan akalnya manusia mampu menjalankan konsep bumi dan dengan hatinya menjalankan konsep langit. Ketika dua dimensi ilmu yang berbeda itu dapat dipadukan dalam kesatuan amal ibadah, hasilnya, kehidupan manusia akan menjadi seimbang dan manusia itu akan menjadi insan kamil, manusia sempurna karena kedua kehidupannya, dhohir dan batinnya telah berjalan dengan sempurna. Semoga inayah Allah Ta’ala selalu menyertai kita semua. Salah satu konsep langit tersebut ialah apa yang telah disampaikan Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya berikut ini:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a berkata: “Rasulullah s.a.w adalah seorang yang benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari yang kedua terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap empat puluh hari ketiga menjadi menjadi segumpal daging. Kemudian Allah SWT. mengutus malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan menulis empat perkara, yaitu ditentukan rezekinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau kebahagiaan. Maha suci Allah SWT. tiada Tuhan selain-Nya. Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga,tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga dia memasukinya.

Menurut hadits Nabi saw tersebut diatas, bahwa jalan hidup manusia sudah ditentukan Allah Ta’ala semenjak proses kejadiannya di dalam rahim seorang ibu. Sejak malaikat diutus untuk meniupkan ruh kehidupan di dalamnya, Malaikat itu sejatinya juga diutus untuk menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan manusia itu. Ditentukan rezekinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya. Yaitu kelak akan mejadi orang celaka atau orang yang bahagia. Bahkan ditegaskan pula oleh Rasulullah saw. Dengan sabdanya: “Maha suci Allah SWT yang tiada Tuhan selain- Nya. Seandainya orang mengerjakan amal kebaikan seperti yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke Surga itu, namun disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya suatu saat dia akan melakukan amalan kejelekan seperti yang dilakukan penghuni Neraka sehingga dia dimasukkan ke dalam Neraka. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia juga akan melakukan amal seperti yang dilakukan penghuni Surga sehingga dimasukkan ke Surga”.

Oleh karena itu, ketika suatu saat Nabi Musa as. bertanya kepada Nabi Adam as. atas kekhilafan beliau yang telah diperbuatnya di surga sehingga menye-babkan umat manusia secara keseluruhan untuk sementara waktu harus menjalani hidupnya di dunia, Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa as. Allah Ta’ala telah mengabadikan peristiwa itu melalui sebuah hadits Rasul-Nya saw. Nabi saw bersabda:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: “Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa a.s, Nabi Musa as. berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga. Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah SWT telah memilihmu dengan kalam-Nya. Allah SWT menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa). Apakah kamu akan mencela aku terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT, sejak empat puluh tahun sebelum aku diciptakan…?”. Nabi s.a.w bersabda: “Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s. Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa as”.

Memang Nabi Adam as. telah berbuat kesalahan di Surga sehingga anak cucunya(manusia) harus mencicipi kehidupan alam dunia yang penuh tantangan dan duka ini. Meski kesalahan itu karena manusia tidak dapat menahan gejolak hawa nafsunya, namun kesalahan itu sejatinya adalah awal sunnah yang sudah ditentukan sejak zaman azali bagi manusia. Dengan kesalahan awal itu, hikmahnya, supaya manusia mau berbuat benah-benah. Memasuki sunnah-sunnah yang berikutnya untuk mengembalikan yang sudah kotor kepada kesucian fithrahnya. Yang demikian itu, karena hanya dengan nafsu dan kesalahan itulah, kemudian manusia dapat mengenal jarak perjalanan antara dirinya dengan Tuhannya. Asal dosa dan kesalahan itu mampu menerbitkan semangat ibadah dan taubatan nasuha, sehingga dengan dosa dan kesalahan itu manusia akan dikembalikan ke surga yang dahulu telah ditinggalkan nenek moyangnya. Namun, apabila dosa itu tidak menumbuhkan semangat ibadah, tapi malah menjadikan hatinya keras dan sombong, berarti dengan dosanya manusia akan dimasuk-kan ke Neraka selama-lamanya.



Sabtu, 17 Januari 2009

Majelis Khushushy Jakarta

MAJLIS KHUSHUSHY JAKARTA
Jama'ah thoriqoh qadiriyah wa naqsyabandiyah al utsmaniyah

Majelis Khushushy

Majlis Khushushy adalah Majlis Dzikir, bertawajjuh, bersimpuh dan berdo’a kehadirat Allah SWT. bagi para murid yang telah berbai’at secara khusus kepada Guru Thoriqoh, yang dilakukan secara bersama - sama setiap minggu sekali, pada waktu dan tempat yang telah diputuskan bersama dan disampaikan / dihaturkan kepada Guru Thoriqoh.


untuk jakarta diadakan setiap hari Sabtu

Jam. 08.00 Wib s/d Selesai

Untuk Manaqib Sultonul Aulia Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ra

hari Minggu ke-3 jam 07.30

Alamat: Masjid Perkarangan Gedung LIPI. Gatot Subroto Jakarta




Rabu, 07 Januari 2009

KEUTAMAAN MANUSIA

KEUTAMAAN MANUSIA

Keutamaan manusia yang paling utama ialah Allah menjadikan manusia sebagai ‘kholifah bumi’, artinya sebagai pengganti Allah s.w.t di muka bumi. Maksudnya, manusia merupakan sumber daya untuk melaksanakan segala kehendak-Nya agar terwujud suatu sebab dan akibat di muka bumi, atau dengan kata lain sebagai pelaksana terjadinya proses rahasia takdir yang sudah ditentukan Allah sejak zaman azali. Sebagai Penguasa Tunggal yang hakiki, Allah s.w.t telah memberikan mandat kepada manusia sejak zaman azali. Allah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُون

َ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.(QS.Baqoroh (2); 30).

Manusia sebagai kholifah bumi, juga mengindikasikan bahwa manusia dengan segala kemampuan yang dimiliki dijadikan oleh Allah s.w.t sebagai penguasa di muka bumi, atau menjadi sumber daya dan pengendali seluruh potensi bumi. Itulah keutamaan dan anugerah terbesar yang diberikan Allah s.w.t hanya kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lain.

Potensi pengendali bumi tersebut berupa suatu sistem (sunnatullah) yang letaknya berada di dalam jiwa manusia, merupakan kelebihan pribadi sebagai buah ibadah dan pengabdian hakiki yang datangnya semata-mata karena kehendak Allah. Barang siapa mampu mendapatkan dan mempergunakan sistem itu dengan baik dan benar, maka sesuai kapasitas kemampuan yang sudah dimiliki, seorang hamba yang sholeh berpotensi dapat mengaplikasikan sistem-sistem kehidupan yang beterbaran di alam semesta. Potensi sistem pengendali itu terdiri dari beberapa aspek:

1. Allah Menjadikan Malaikat Berpotensi Mengabdi Kepada Manusia.

Allah SWT. berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. (2); 34)

Malaikat merupakan makhluk yang tidak membutuhkan makan dan minum, tidak seperti makhluk lain, bahkan merupakan makhluk yang sangat tunduk kepada perintah Allah. Allah s.w.t menyatakan dengan firman-Nya: “Penjaganya (neraka) adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS.at-Tahrim; 6)

Dinyatakan dalam firman-Nya di atas (QS. (2) 34), makhluk yang tidak butuh makan-minum itu ternyata diciptakan Allah s.w.t sebagai pendamping hidup bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Oleh karena itu, bagi orang-orang beriman dan beramal sholeh, sadar ataupun tidak, sesungguhnya romantika kehidupan mereka sedikitpun tidak terlepas dari fungsi keberadaan malaikat ini. Sedangkan bagi para hamba yang `arifin, hamba Allah yang hatinya selalu dekat dengan sistem pemeliharaan dan tarbiyah azaliyah itu, keberadaan fungsi malaikat ini dijadikan sebagai bagian hidup yang sedikitpun tidak pernah ditinggalkan.

2. Allah Menciptakan Alam Semesta Berpotensi Dijinakkan Manusia

Potensi sumberdaya manusia sebagai pengendali kehidupan bumi itu tidak hanya dengan dijadikan-Nya malaikat tunduk kepada komando hati mereka saja, namun juga, bahkan langit dan bumi dengan segala isinya juga tercipta berpotensi untuk dijinakkan manusia.

Langit dan bumi serta segala kandungan di dalamnya, tercipta bagaikan rangkaian alat mekanik yang bertebaran di seluruh alam, ternyata dikendalikan oleh sistem (sunnah) pengendali dari pusatnya, hal itu sebagaimana yang ditegaskan Allah s.w.t dalam kandungan firman-Nya:

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. (QS.Fush-Shilat (41); 11)

Ayat di atas telah mengungkap rahasia besar yang tersimpan di dalam kehidupan alam semesta, urusan Ilahiyah yang sudah ditetapkan sejak zaman azali, bahwa sejak langit dan bumi menjawab panggilan Allah Yang Maha Kuasa: “Kami datang dengan suka hati” (QS (41); 11). Maka sejak itu dan bahkan untuk selamanya sesuai dengan kehendak-Nya, seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi itu terkendali dengan satu sistem komando. Hanya dengan Urusan dan Ilmu Allah Yang Maha Perkasa, ketika Allah s.w.t memberikan komando dari sistem tersebut, maka seluruh perangkat yang ada itu, baik yang di bumi maupun yang di langit niscaya dengan serta merta menjalankan masing-masing fungsinya.

Sistem pusat komando itulah hati seorang kholifah bumi, dengan izin-Nya seorang kholifah bumi berpotensi menjinakkan potensi langit dan bumi itu. Allah s.w.t telah menyatakan dengan firman-Nya:

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”
(QS. Al-Jaatsiah; 13)

Dengan dua potensi besar tersebut, maka berarti seluruh makhluk yang ada di alam raya ini berpotensi ditundukkan oleh manusia, kecuali makhluk jin, yang jin memang tercipta sebagai musuh manusia. Namun demikian, sesungguhnya manusia tetap berpotensi dapat menundukkan musuh utamanya itu. Hanya saja, untuk dapat menundukkan jin tersebut manusia terlebih dahulu harus memiliki “sulthonan nashiiro” atau kekuatan penolong yang didatangkan Allah s.w.t kepada manusia. Tanpa kekuatan penolong tersebut justru manusia rentan dikuasai jin, terlebih bagi mereka yang sering bekerja sama dengan jin.

Diriwayatkan dalam sabda Nabi s.a.w, ketika Allah menyatakan cinta-Nya kepada seorang hamba, maka dengan serta merta seluruh makhluk yang ada ikut mencintai hamba tersebut. Dengan kecintaan tersebut, secara otomatis mampu menciptakan peluang yang lebih besar lagi bagi orang yang dicintai-Nya itu untuk mengomando sistem yang sudah tersedia baginya.

Potensi kecintaan seluruh makhluk kepada seorang hamba yang dicintai Allah s.w.t itu telah dinyatakan oleh sebuah Hadits Shahih riwayat Bukhari dan Muslim:

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الْأَرْضِ *

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila Allah s.w.t mencintai seorang hamba niscaya memanggil Jibril a.s dan berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, oleh karena itu cintailah dia. Baginda Nabi s.a.w bersabda: Lalu Jibril mencintainya. Kemudian Jibril menyeru ahli langit dengan berkata: Allah telah mencintai Fulan, maka cintailah dia, sehingga semua ahli langit mencintainya. Baginda Nabi s.a.w bersabda: Kemudian orang tersebut diterima oleh semua golongan yang berada di muka bumi. Apabila Allah s.w.t memurkai seorang hamba, niscaya Dia juga akan memanggil Jibril a.s dan berfirman: Sesungguhnya Aku benci orang tersebut, oleh karena itu bencilah dia. Baginda Nabi s.a.w bersabda: Lalu Jibril membencinya. Kemudian Jibril menyeru ahli langit dengan berkata: Allah telah membenci orang tersebut, maka kamu semua membencilah kepadanya, sehingga semua ahli langit membencinya. Kemudian dia dibenci oleh semua penghuni bumi. (HR Bukhari dan Muslim)

Pernyataan dalam Hadis itu sejatinya adalah bahasa kias, di mana dengan perlambang itu manusia dapat membayangkan sendiri, betapa ketika seorang hamba dicintai Allah s.w.t maka Malaikat Jibril a.s dan seluruh makhluk, baik di bumi maupun di langit akan mencintainya. Dengan kecintaan tersebut berarti tumbuh semangat pengabdian. Bagaikan tentara-tentara yang setia, maka seluruh makhluk tersebut akan menjaga kekasihnya melebihi menjaga dirinya sendiri, sehingga dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya: “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik” (QS.az-Zumar; 34).

Seperti itulah keadaannya, ketika Allah s.w.t menghendaki Nabi Dawud a.s dijadikan sebagai kholifah bumi zamannya, maka Allah s.w.t berfirman:

يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil”. (QS.Shood (38); 26)

Untuk mengatur kehidupan bumi, menggali dan mengendalikan segala potensinya, menegakkan keadilannya serta memberantas kezaliman dan keangkaramurkaan yang ada di atasnya, maka tugas pertama yang dilaksanakan Dawud a.s adalah membunuh Jalut yang perkasa, sebagaimana telah diabadikan Allah s.w.t dengan firman-Nya:

فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ

“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya”.(QS. al-Baqoroh (2); 251)

Dalam sebuah riwayat, ketika Dawud a.s memutuskan untuk ikut bergabung menjadi tentara Tholut. Dalam perjalanan Dawud a.s bersama rombongannya ke medan perang, di tengah perjalanan ada tiga buah batu menyapa Dawud: “Hai Dawud, apakah engkau akan berperang melawan Jalut?, bawalah aku dan bunuhlah Jalut denganku”, maka diambillah ketiga buah batu itu oleh Dawud dan diletakkan di dalam ketapelnya. Dawud a.s merupakan orang yang terkenal sangat ahli menggunakan ketapel sebagai senjata.

Singkat cerita ketika masing-masing tentara sudah berhadapan di medan laga, ternyata Dawud a.s benar-benar berhasil membunuh Jalut dengan batu yang dibawanya itu, padahal Jalut adalah seorang raja yang sangat perkasa dan selalu dapat kemenangan di setiap peperangan yang dihadapinya. Jadi, tiga batu yang dibawa Dawud a.s tersebut adalah awal sebuah skenario dari sistem yang terkendali oleh rahasia perintah tersembunyi. Perintah Allah s.w.t Yang Maha Kuasa dengan Segala Kehendak-Nya. Ketika Dawud a.s dengan izin-Nya dapat membunuh Jalut, maka selanjutnya, “Allah memberikan kepadanya pemerintahan dan hikmah, serta mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya”(QS. (2); 251).

Walhasil, keutamaan manusia itu tidak hanya karena manusia mempunyai akal saja, sebagaimana yang difahami banyak kalangan, namun jauh lebih dari itu. Dengan akal dan ilmunya manusia sesungguhnya berpotensi menjinakkan sistem-sistem yang bertebaran di mukan bumi, bahkan di seluruh alam semesta ini. Di sini ada rahasia besar yang harus dikuak, sehingga manusia dapat memperoleh jatahnya itu. Siapa saja dapat mencapai kedudukan yang utama itu, asal mereka mengetahui ilmunya. Maka anda jangan heran jika anda menemukan seseorang bisa merubah batu menjadi emas atau tanah menjadi burung, hal itu karena terjadi atas ilmu dan izin Allah s.w.t. Allah yang menciptakan alam beserta hukum-hukumnya, maka hanya Allah pula yang mampu merubah keadaan ciptaanya tersebut. (malfiali)

Menggali Potensi Hati

Menggali Potensi Hati

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang terbit dari kekuatan ruhani atau dengan istilah ilmu rasa, sedang ilmu yang lain adalah dari kekuatan potensi akal dan potensi fikir atau dengan istilah ilmu rasio. Adalah ibarat dua lautan yang tidak bertepi. Titik pertemuan dua ilmu tersebut—di dalam hati seorang hamba,— adalah dugaan tempat terbitnya ilmu laduni. Oleh karena itu, pertemuan kedua sosok tersebut (nabi Musa dan nabi Khidhir) sebagai sosok karakter—bukan sosok personal—adalah lambang sumber ilmu laduni yang harus digali oleh para salik di dalam karakternya sendiri. Karakter tersebut dibentuk dengan ilmu, iman, amal dan akhlakul karimah. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah SWT. Kepada Musa as. saat berdialog dengan-Nya, "Yaitu seseorang yang paling berilmu tinggi adalah ketika dia telah mampu menyampaikan ilmu orang lain kepada ilmunya sendiri".

Seandainya—sebagai seorang murid—nabi Musa mau mengalah dan percaya kepada nabi Khidhir, membenarkan perbuatan gurunya, yang notabene menurut dirinya adalah salah, dengan diam tidak bertanya, sambil mencari rahasia kebenaran yang dikandungnya melalui proses pengaksesan kepada

potensi-potensi fasilitas ilmu laduni yang telah disiapkan oleh Allah bagi setiap manusia, maka akan dibuka di hatinya rahasia-rahasia dan hikmah urusan yang ghaib di balik kejadian-kejadian yang lahir tersebut, sehingga akan terbit suatu pemahaman yang baru terhadap hal yang selama ini belum pernah dipahami sama sekali. Adalah proses yang datangnya tidak terduga3, merupakan sebab-sebab pertama dari terbukanya rahasia sumber ilmu laduni di dalam hati seorang hamba. Tidak dengan sebaliknya, yaitu hanya memaksakan ilmunya supaya diterima oleh ilmu orang lain, ketika terjadi konflik ilmiyah di dalam pikirannya.

3 Keadaan tersebut, sebagaimana yang digambarkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya: 􀂴Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran - Dan tidaklah urusan Kami kecuali hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata􀂵. QS.al-Qomar/49-50.

Dalam waktu yang kadang-kadang relatif kurang dari satu detik itu apa saja bisa terjadi, suatu pengertian yang selama ini belum diketahui, dapat terbit dalam hati yang luasnya tidak dapat tertampung baik oleh ucapan maupun tulisan, bahkan kadang-kadang dapat menghidupkan kemampuan daya kreasi yang selama ini belum pernah dimiliki oleh seseorang. Seperti orang bermimpi, yang kadang-kadang hanya sekejap tapi jalan ceritanya mampu diceritakan sepanjang hari, bahkan tidak habis-habis meski diceritakan sehari semalam, layaknya kejadian seumur hidup terulang kembali. Yang demikian itu adalah sunnatullah, siapapun berpotensi dapat memasukinya, asal terlatih dengan bimbingan yang benar.

Seperti itulah arti kesalahan seorang murid terhadap gurunya, dia melanggar perjanjian yang sudah disepakati bersama, sehingga murid terlepas dari kesempatan emas untuk mendapatkan sumber ilmu laduni yang sudah di depan mata. Bukan ilmu dan pengalaman yang sudah ada yang disalahkan akan tetapi cara memanfa’atkannya yang harus lebih mendapatkan perhatian. Seorang murid yang sudah bai’at (melaksanakan janji untuk mengikuti) kepada gurunya, sedikitpun tidak boleh mempunyai prasangka jelek kepada gurunya, meski dihadapkan kepada perbuatan maksiat. Seorang guru mursyid, seperti seorang dokter, memang terkadang harus mampu berbuat jelek kepada muridnya. Itu seperti seorang Dokter ketika dia mengadakan pembedahan untuk mengangkat penyakit yang ada dalam jasad pasien, guru mursyid pun demikian. Ketika guru mursyid harus menguji murid-muridnya dengan perbuatan yang tidak masuk akal sehat, menyakiti perasaan dengan menjatuhkannya di depan orang banyak umpamanya, hal tersebut sejatinya semata-mata untuk mengangkat penyakit-penyakit ruhani yang ada dalam karakter muridnya. Yang demikian itu adalah bagian tarbiyah yang harus mampu dilaksanakan oleh seorang guru mursyid kepada anak-anak asuhnya. Kejadian seperti itu pernah terjadi pada diri Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. ketika menjalani tarbiyah dari nabi Khidhir as., padahal asy-Syekh, tidak mengenalnya, asy-Syekh diperintah untuk tinggal di suatu tempat selama tiga tahun, dan hanya setahun sekali nabi Khidhir as. mengunjunginya. Nabi Khidhir berkata kepadanya: “Perbedaan pendapat (antara murid dan gurunya) akan menjadi sebab perpisahan”. *Lujjainid dani*.

Sebagai bagian bentuk pengabdian yang harus dilakukan, suatu saat seorang murid harus mampu mengosongkan akalnya dari ilmu yang sudah dimiliki untuk membenarkan perbuatan gurunya walau menurut ilmunya perbuatan gurunya itu salah. Hal itu bertujuan, ketika telah terjadi pengosongan supaya “nur ilmu” yang dipancarkan seorang guru mursyid—niat di balik ujian yang diberikan—mampu mengisi bilik akal yang sudah terkondisi tersebut.

Seperti menanam bibit, kadang-kadang di tanam pada waktu yang tepat—setelah tanah siap tanam—adalah yang lebih menentukan kwalitas tanaman itu daripada bibit itu ditanam pada waktu yang tidak tepat. Adalah urusan-urusan “dalam” (ruhani) yang harus dimengerti oleh seorang salik, seperti ilmu teori, supaya praktek yang dijalankan tidak salah jalan. Ketika terjadi pergolakan di dalam hati, sakit hati akibat terpaksa harus membenarkan orang lain yang semestinya menurut ilmu syari’at salah, arus itu menimbulkan hawa panas dalam hati yang akan mampu membakar hijab-hijab. Hal tersebut merupakan mujahadah “bil hal” (mujahadah hati) yang harus dilaksanakan oleh murid. Saat itulah, ketika kristal-kristal hijab berhasil dilelehkan oleh hawa panas yang membakar hati, lalu kristal itu larut di dalam samudera ilmu Allah yang tidak terbatas, dengan izin Allah Ta’ala, pintu matahati seorang hamba akan terbuka, sehingga yang selama ini ghaib menjadi nyata dalam pandangan hati. Itulah pengendapan ilmu, ketika seorang hamba mampu melaksanakannya, maka garis-garis urat wajah akan ikut tertata sehingga sinar wajah menjadi cemerlang dan menyejukkan. Mujahadah di jalan Allah tidak selalu dengan melaksanakan wirid dan dzikir saja. Namun juga menerima pendapat orang lain, memaafkan kesalahan, membiarkan dirinya dihina dan difitnah, adalah mujahadah yang jauh lebih berat, akan tetapi juga dapat menghasilkan kemanfaatan yang lebih utama: Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami

tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang

berbuat baik. QS.al-Ankabut/69.

Kadang-kadang hanya sekedar untuk mencabut rasa sombong yang sudah mengakar dalam karakter

manusia, eksistensi orang tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan musibah dan fitnah-fitnah. Hal itu bertujuan supaya hatinya bersih dari sifat pengakuan diri yang dapat menerbitkan rasa sombong dan kemudian supaya mampu bertaubat kepada Allah Ta’ala dengan taubatan nasuha. Seperti hutan ketika akan dibuka untuk lahan pertanian, setelah tanaman-tanaman ditebang kemudian dibakar, dan ketika hujan turun, baru kemudian tanah itu menjadi subur dan siap ditanami. Oleh karena manusia tidak mampu melaksanakan pensucian (tazkiyah) dengan pilihan hatinya sendiri, maka Allah Ta’ala membuka jalan dengan pilihan-Nya. Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata : Apabila kebiasaan (buruk) telah mendominasi kehidupan manusia tanpa adanya kemauan untuk mensucikannya, Allah mengujinya dengan didatangkan berbagai penyakit (baik lahir maupun batin), sebagai peleburan dosa dan pensucian, supaya dia pantas menghadap (mujalasah) dan mendekatkan diri kepada

Allah. Yang demikian itu dikehendaki maupun tidak.*Lujjainid Dani*

Setelah hati menjadi bersih dari sifat basyariyah yang tidak terpuji, disadari maupun tidak, ilmu yang didengar, walau sedikit akan tumbuh berkembang dalam ingatan. Sebab, seperti tanah, hati yang subur itu akan mudah menerima ilmu serta mengembang-kannya dengan tanpa terbatas : Sebab itu sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku (yaitu) orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. QS.az-Zumar/17-18.

Kadang-kadang datangnya sumber “ilmu laduni” tersebut dimulai dengan kejadian di alam mimpi-mimpi. Seorang murid bertemu dengan gurunya misalnya, baik yang masih hidup maupun sudah mati, dia mendapatkan perintah dengan isyarat yang masih samar. Akan tetapi setelah bangun dari tidur, menjadikan tumbuhnya semangat yang kuat untuk melaksanakan benah-benah diri dan ibadah. Setelah isyarat mimpi itu ditindaklanjuti dengan mujahadah serta perjalanan ruhaniyah yang terencana, saat berikutnya, hatinya mendapatkan “futuh” dari Tuhannya sehingga isyarat-isyarat yang terdahulu masih samar tersebut kini menjadi kenyataan.

Sebagian besar para Nabi4 juga diperjalankan dengan cara demikian : Sesungguhnya kamu telah4 Perintah kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putranya, Nabi Isma’il as. juga dimulai dengan datangnya mimpi yang berturut-turut sebanyak tiga kali (Muqotil-Tafsir Qurthubi). Demikian juga “Futuh al-Makkah”. (kembalinya tanah kelahiran Nabi Muhammad saw. tersebut kepangkuan baginda Nabi). Dengan mimpi-mimpi itu dijadikan sebagi isyarat dariNya, maka

membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik .QS.ash-Shooffat/105.

Sebab, sesungguhnya hati para Nabi tidak pernah tidur walau matanya sedang tidur. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya keadaan para Nabi, mata-mata kami tidur akan tetapi hati-hati kami tidak tidur. (Tafsir Qurthubi)



SPIRITUAL

Pencerahan Spiritual

Dengan mujahadah (dzikir) yang dilaksanakan sebagai pelaksanaan thoriqoh secara istiqomah. Akal(rasio) manusia akan selalu mendapatkan pencerahan dari hati dengan “nur hidayah” buah dzikir yang dijalani, sehingga aktifitas akal—yang terkadang suka kebablasan—dapat terkendali dengan kekuatan aqidah (spiritual) yang benar. Dengan dzikir itu, seperti meditasi, manusia hendaknya mampu mengosongkan irodah dan qudroh basyariyah yang hadits(baru) untuk dihadapkan kepada irodah dan qudroh Allah Ta’ala yang azaliah. Maksudnya, obsesi, rencana, dan kemampuan diri untuk mengatur kehidupan kedepan, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, saat itu, dengan kekuatan dzikir yang dilaksanakan, dilepas sementara dari bilik akal, dihadapkan dan diserahkan kepada perancanaan Allah—bagi setiap hambaNya—sejak zaman azali serta kepada kemampuan-Nya yang Maha Kuasa untuk memberikan solusi dan pertolongan kepada hambaNya. Ketika dengan pelaksanaan “meditasi islami” tersebut, rasio berhasil dikosongkan dari kemampuan secara basyariyah, terlebih apabila pengosongan itu adalah buah syukur yang diekspresikan di dalam bacaan dzikir, yang masuk setelah pengosongan itu diharapkan rahasia bacaan dzikir yang dilakukan. Rahasia yang terkandung di dalam kalimat “La Ilaaha illallah” (tidak ada Tuhan selain Allah) yang dilafadkan berkali-kali. Hal tersebut merupakan “ilham” dan “inspirasi spontan” di dalam hati yang akan mampu memberikan solusi bagi setiap kesulitan yang dihadapi. Itulah rahasia Nubuwah—yang dahulu diberikan kepada para Nabi, kemudian menjadi Walayah—ketika diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, sejatinya adalah wahyu yang disampaikan: Dan tidak ada bagi seorang manusia-pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu. QS. 42/51.

Ketika rahasia Nubuwah itu telah meresap di dalam hati(spiritual). Seperti air yang mengalir dari cabang-cabang anak sungai, ketika keluar dari muara, kemudian air itu melebur di dalam samudera yang tidak terbatas, maka yang asalnya kotor seketika menjadi bersih, yang najis menjadi suci. Seperti itulah pencerahan akal dari rahasia dzikir, sehingga hati yang asalnya susah langsung menjadi gembira:

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.QS.ar-Rad/28.

saja, tapi juga cerdas. Mereka siap menjawab segala pertanyaan dan teka-teki yang ditampilkan kehidupan dengan benar dan “rahmatan lil alamin”, karena akal senantiasa mendapatkan pencerahan dari hati. Itulah hasil perpaduan antara dzikir dan fikir. Karena demikian pentingnya pelaksanaan dzikir ini, maka Allah Ta’ala telah membuat persaksian dengan firman-Nya:

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS.Ali Imran/191.

Kita meneruskan ayat :

"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami QS.al-Kahfi.18/65.

Firman Allah SWT.

Fawajadaa abdam min Ibaadinan Mujahid ra berkata: “Hamba itu namanya Khidhir. Dinamakan

Khidhir karena apabila dia sholat di suatu tempat, tempat sekelilingnya menjadi tampak hijau. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi ra. Dari Abi

Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :

Dinamakan Khidhir karena, sesungguhnya ketika dia duduk di daratan bumi yang putih, ketika ia bergerak maka bumi di atasnya tampak hijau .

Manurut Jumhur Ulama’, Khidhir as. Adalah seorang Nabi. Dalilnya adalah ayat-ayat diatas tersebut (al-Kahfi 60-82), yaitu tidak mungkin seorang mengetahui urusan yang ghaib kecuali dengan Wahyu. Demikian pula, manusia tidak mungkin belajar dan mengikuti orang lain kecuali kepada orang yang ilmu pengetahuannya berada diatasnya, sedangkan diatas seorang Nabi haruslah seorang Nabi pula”. Tafsir Qurthubi, Ayat 65 surat Al-Kahfi Di dalam tafsir kubronya, Iman Fahr ar-Rozi ra. menafsirkan ayat di atas: Firman Allah SWT.

"Fawajadaa abdam min ibaadinan" (keduanya telah menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami)

beliau berkata : Sebagian besar Ulama' ahli tafsir telah sepakat bahwa hamba tersebut adalah seorang Nabi dan bernama Khidhir as. yaitu seorang hamba Allah yang dipilih untuk mendapatkan Nubuwah(kenabian) dengan alasan sebagai berikut:

1. Firman Allah: "Aatainaahu Rohmatan Min Indinaa" (Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami). Yang dimaksud Rahmat di sini adalah Nubuwah (rahmat kenabian) dengan dalil Firman Allah : Ahum Yaqsimuuna Rohmata Robbik(Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu). QS. 43/32.

2. Firman Allah : Wa allam naahu min ladunnaa Ilman" (dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami).

Menunjukkan bahwa Allah telah mengajari hamba itu dengan tanpa perantara seorang pengajar dan

menunjukinya tanpa perantara seorang petunjuk.

Beliau berkata: Barang siapa mendapatkan ilmu dari Allah tanpa perantara seorang pengajar, yang demikian

itu disebut Nubuwah. karena pengetahuan itu, terlebih kepada urusan yang ghaib, tidak mungkin bias didapatkan kecuali adalah wahyu. Dengan dalil firman Allah :

(Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu).QS.as-Syuura. 42/51.

3. Diriwayatkan, ketika Musa as. bertemu Khidhir as. dan menyampaikan salam kepadanya, Khidhir menjawab : Salam juga untukmu wahai Nabi Bani Isra'il. Musa as. bertanya: "Siapa yang menunjukkan ini kepadamu ?", Dia menjawab: "Yang mengutusmu datang kemari". Dengan itu menunjukkan bahwa Khidhir as. adalah seorang Nabi, karena tidak mungkin seseorang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali melalui wahyu. *Tafsir Fahrur-rozi*

Inilah ayat kunci itu. Ayat tersebut menampilkan sosok yang menjadi simbol adanya “ilmu laduni”, yaitu sosok yang terlebih dahulu mendapatkan rahmat Allah baru kemudian ilmu-Nya.

Yang dimaksud “rahmat sebelum ilmu” adalah ilmu pengetahuan yang didasari rahmat Allah Ta’ala yang memancar dari hati seorang hamba, bukan ilmu yang hanya didasari dengan akal saja, terlebih lagi nafsu dan hawanya. Oleh karena itu, ilmu laduni tersebut selalu terbit secara aktual dan aplikatif. Ilmu itu mampu menjawab setiap kejadian dengan pandangan yang menyejukkan banyak orang. Yang demikian itu akan menampakkan tanda-tanda, diantaranya:

1) Ilmu pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan yang universal dan rahmatan lil alamin, artinya: Ilmu pengetahuan yang kemanfaatannya secara umum mencakup kepentingan seluruh makhluk, baik manusia maupun jin. Bukan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dan secara khusus akhirnya kembali untuk kepentingan hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kapadaNya. Atau untuk mengajak manusia ke jalan Allah Ta’ala: Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami".QS.al-Araaf/156.

Kalau pelaksanaan ilmu pengetahuan ternyata hanya membuahkan perpecahan diantara sesama manusia lebih-lebih sesama orang yang beriman. Atau hanya untuk kepentingan mencari sumber hidup dan sandang pangan. Maka bukan ilmunya yang harus dipersoalkan, tapi yang mendasarinya, barang kali di dalam hati pemiliknya masih ada yang perlu mendapatkan pembenahan. Hal itu disebabkan, karena dalam hati manusia itu boleh jadi sebagai tempat hidayah Allah dan juga boleh jadi sebagai tempat sarang setan menebarkan fitnah di dalam kehidupan.

2) Ilmu pengetahuan yang menjadikan hati seorang hamba mudah memaafkan kesalahan orang lain :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.QS.Ali Imran/159.

3) Ilmu pengetahuan yang mampu membangun semangat persaudaraan sehingga menciptakan komunitas manusia yang mampu mengabdi kepada Tuhannya : Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.QS.Ali Imran/159.

Oleh karena yang mendasari ilmu itu adalah rahmat Allah, maka dimana-mana ilmu itu akan menciptakan kedamaian dan persaudaraan, bukan ilmu yang menciptakan perselisihan dan perpecahan. Ilmu yang mengantarkan pemiliknya dicintai Allah Ta’ala dan dicintai seluruh makhluk-Nya, bukan ilmu yang menjadikan pemiliknya dibenci Allah Ta’ala. Kalau orang dibenci manusia karena suatu hal, tetapi dia juga dicintai manusia karena hal yang lain, lebih-lebih bila pihak yang mencintai lebih besar dari pada pihak yang membenci—di dalam kehidupan di dunia—yang demikian itu wajar terjadi. Sebab, tidak mungkin orang dicintai orang lain kecuali terlebih dahulu terbit dari dibenci, demikian juga sebaliknya tidak mungkin orang dibenci orang lain kecuali terbit dari dicintai. Allah memberikan sinyalemen dengan firmanNya : Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)."QS.Ali Imran/27.

Demikian itu adalah sunnatullah yang tidak akan mengalami perubahan lagi untuk selama-lamanya, sehingga—dengan ilmu laduni yang sudah dimiliki—seorang hamba menjadi kenal kepada segala sunnah yang ada tersebut. Maka, orang tersebut tidak menjadi benci sebab kebencian makhluk dan tidak menjadi cinta sebab kecintaan makhluk, dia semata-mata hanya mencintai seluruh makhluk karena dia telah mencintai Penciptanya. Sehingga sosok Khidhir itu digambarkan oleh hadits diatas sebagai berikut :

Dinamakan Khidhir karena, sesungguhnya ketika dia duduk di daratan bumi yang putih, ketika ia bergerak maka bumi atasnya tampak hijau.

Walhasil, dengan ilmu laduni seorang hamba akan mendapatkan penerimaan yang baik, baik oleh seluruh makhluk,—di muka bumi—karena kecintaannya telah membuahkan cinta pula, maupun oleh Allah Ta’ala—di dunia dan di akhirat—karena pengabdiannya telah mendapatkan penerimaan yang baik di sisiNya. Dengan itu akhirnya orang tersebut akan mendapatkan pungkasan hidup yang baik (husnul khotimah) yang akhirnya akan mengantarkan dirinya mendapatkan ridho Allah Ta’ala dan bahagia untuk selama-lamanya di Surga. Insya Allah.

(malfiali)