Ibadah dhohir batin yang akan menjadikan hati menjadi yakin dan khusu’. Itulah yang dimaksud dengan “menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu kesatuan amal”.
Kalangan kita yang awam ini sering sulit dapat membedakan. Di dalam bagian hidup ini—dari perbuatan yang sehari-hari dikerjakan manusia—mana yang bagian alam azaliyah (qodo’) dan mana yang bagian alam hadits (qodar). Mana yang kehendak (irodah) basyariyah yang hadits dan mana kehendak (irodah) Allah Ta’ala yang qodim. Demikian pula, di dalam kehendak basyariyah kita yang hadits itu—ketika perbuatan itu sedang dikerjakan—mana di dalamnya yang termasuk bagian dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim. Sebab, tidak satupun kehendak manusia yang hadits melainkan pasti kehendak itu terbit dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim(azaliyah). Demikian pula, apabila dua alam itu(alam hadits dan alam qodim) dapat dipadukan manusia secara spiritual di dalam satu kesatuan amal ibadah dhohir yang hadits, maka amal ibadah yang hadits itu akan menjadi amal ibadah yang kuat dan sempurna. Setiap pribadi muslim pasti percaya adanya qodo’ dan qodar. Qodo’ adalah ketetapan Allah pada zaman azali yang sifatnya qodim sedangkan qodar adalah pelaksanaan qodo’ itu pada zaman sekarang yang hadits. Sebabnya, iman qodo’ dan qodar itu adalah termasuk di dalam rukun iman yang keenam. Bahkan seorang muslim percaya bahwa baiknya dan jeleknya juga adalah dari Allah Ta’ala (khoirihi wa syarrihi minallaahi Ta’ala). Namun, barangkali yang kurang dipahami banyak orang adalah cara mengetrapkan qodo’ qodar itu di dalam iman, yaitu memadukan antara qodo’ dan qodar itu secara spiritual di dalam satu amal yang dhohir. Secara teori, atau ilmu yang harus diimani oleh yang beriman adalah, bahwa setiap kejadian yang telah atau sedang terjadi, pasti sebelumnya sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala pada zaman azali. Masalahnya, ketika kejadian itu terbit dari perbuatan manusia, dari kehendak pribadi yang hadits, maka sering timbul suatu pertanyaan: “Kalau apa-apa yang sedang dikerjakan manusia itu adalah sesuatu yang sudah ditentukan Allah Ta’ala pada zaman azali……..?, maka apa arti kehendak dan perbuatan manusia itu disaat manusia itu sedang mengerjakan pekerjaannya…?.
Bahkan ada yang bertanya lebih ekstrim, yang kadang-kadang sering dimunculkan di dalam majlis-majlis pengajian dan forum diskusi yang sifatnya umum. Mereka bertanya: “Kalau perbuatan jelek manusia yang dapat mengakibatkan manusia terjerumus masuk ke neraka itu, juga adalah apa-apa yang sudah dikehendaki Allah Ta’ala pada zaman azali, berarti, bukankah Allah juga punya andil dalam kejelekan itu……? Kalau demikian mengapa manusia sebagai pelaksana kehendak-Nya dimasukkan ke neraka..?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang dapat menggangu pemikiran awam, yang kalau dibiarkan dapat merusak aqidah yang baru tumbuh.
Oleh karena itu, urusan qodo’ dan qodar ini tidak banyak dibicarakan oleh para ulama’ salaf, terlebih kepada yang bukan ahlinya dan di majlis-majlis yang sifatnya umum. Karena, mereka takut ada yang salah dalam pemahaman, terlebih bagi yang belum mampu menerimanya. Demikian juga, karena di dalam urusan qodo’ dan qodar itu banyak hal yang menyangkut ilmu rasa atau ilmu mukasyafah (intuisi), bukan sekedar ilmu rasional. Maha Suci Allah dari segala imajinasi manusia.
Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga kita dari kesalahan yang fatal dalam berbicara. Berangkat dari pembicaraan bahwa manusia adalah seorang kholifah Allah di muka bumi, yaitu sumber pelaksana di muka bumi. Oleh karena kebanyakan manusia melupakan hakikat kekholifahan itu, maka dalam kaitan memahami qodo’ dan qodar ini menjadikan kebanyakan mereka menjadi kurang mampu untuk memahaminya. Maksudnya, bahwa secara sunnah (sunatullah) manusia telah ditentukan sang Pencipta yang Maha Kuasa sebagai tenaga pelaksana di muka bumi. Dengan itu supaya disana tercipta amal dan karya. Karena hanya dengan amal dan karya itulah manusia akan mendapatkan bagian yang sudah ditentukan Allah Ta’ala untuk dirinya. Baik berupa sarana kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Sarana-sarana kehidupan manusia itu, kalau diibaratkan buah mangga, maka buah mangga itu masih bergantung di pohonnya. Meski buah mangga itu sudah diperuntukkan bagi seseorang, apabila orang tersebut tidak mau berusaha mengambilnya, maka buah mangga itu tidak akan datang sendiri kepangkuannya. Demikian juga, cara mengambil buah mangga itu, karena buah itu masih tergantung di pohonnya, maka haruslah dengan ada kemauan dan kemampuan serta sarana pendukung yang memadai. Yang demikian itupun juga sunnatullah yang sejak ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jatah2 yang sudah ditentukan bagi dirinya itu, selama hidupnya manusia harus berbuat dan berusaha. 2 Kaitan jatah ini Allah Ta’ala telah menyatakan dengan firman-Nya yang artinya: “Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan keutamaan(yang sudah ditentukan bagi)nya”.QS.Hud/3.
Tidak boleh hanya tinggal diam saja. Manusia harus membangun dan mengelola sendi-sendi kehidupannya. Secara universal dan meliputi setiap sendi yang ada yang dimulai dari hidupnya sendiri, keluarga, rumah tangga dan lingkungannya. Dimana saja berada dan sebagai apa saja, manusia harus mampu berbuat amar ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar. Karena dengan amar ma’ruf nahi munkar itulah, kehidupan di muka bumi ini akan benar-benar menjadi hidup subur dan makmur. Allah Ta’ala telah menyatakan sunnah tersebut dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. QS: Ar’d/11.
Untuk menjalankan fungsi kekholi-fahan tersebut, manusia mendapatkan hak untuk bebas menentukan pilihan hidup (Huriyatul Irodah). Maksudnya, manusia yang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Dengan amal kebaikan atau keburukan, meski masing-masing keduanya akan membawa dampak dan konsekwensi yang harus mampu dipertanggungjawabkan sendiri oleh manusia. Oleh karena itu, supaya manusia tidak salah dalam memilih dan juga supaya tercipta aturan main yang adil dan bertanggungjawab di muka bumi, maka Rasul-rasul dan para Nabi saw. diutus sebagai pemimpin dan pembimbing manusia serta kitab-kitab langit diturun-kan sebagai pedoman dan rambu-rambu jalan yang harus ditaati. Disamping yang demikian itu, manusia juga telah dilengkapi dengan indera-indera kehidupan, baik indera yang dhohir maupun yang batin. Indera-indera itu adalah sarana, sebagai perangkat-perangkat atau alat mekanik supaya manusia dapat menjalani hidup dan kehidupannya dengan layak dan sempurna. Untuk mengendalikan seluruh anggota tubuh yang ada, seperti kaki, tangan, mata, telinga, dan lisan, manusia telah dilengkapi pula oleh Sang Maha Pencipta Yang Maha Pemurah dengan tiga perangkat pokok, yaitu nafsu, akal dan hati, atau lazim disebut emosional, rasional dan spiritual.
Dengan ketiga perangkat pengendali tersebut, manusia harus menentukan jalan hidupnya untuk sebuah karya. Mengisi lembaran-lembaran buku putihnya dengan sejarah dan perjalanan hidup yang secara dhohir dirinya sendiri diberi kesempatan untuk memilih sendiri, dengan amal kebajikan atau amal kejahatan. Apabila manusia memilih meng-gunakan akalnya untuk memperturutkan nafsu dan hawanya berarti manusia telah berbuat maksiat dan mendapatkan dosa. Namun apabila dengan akal itu manusia memilih menahan nafsunya dan mengikuti kehendak hatinya berarti manusia telah berbuat taat dan mendapatkan pahala. Kesempatan untuk memilih itu, yang juga disebut “Huriyatul Irodah”, sejatinya adalah anugrah terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Namun demikian, dengan anugrah itu, boleh jadi manusia dimasukkan ke neraka atau ke surga. Itulah yang dimaksud dengan fungsi kekholifahan itu, yang hanya diberikan Allah Ta’ala kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang lainnya. Yang demikian itu karena sekali-kali Allah Ta’ala tidak berbuat zalim kepada hamba-Nya. Adapun makhluk selain manusia, kecuali Jin, malaikat sekalipun, mereka hanya menjalankan suratan hidupnya yang telah ditentukan dengan ketat tanpa ada kesempatan untuk memilih. Oleh karena itu, meski binatang kadang-kadang menjalankan hidupnya dengan semaunya sendiri. Yaitu tidak perduli barang orang lain yang mestinya harus dijaga, asal ada kesempatan pasti akan disikat juga, seperti kalau manusia adalah perbuatan seorang koruptor, apabila pekerjaan itu dilakukan oleh binatang maka binatang itu tidak akan dimasukkan ke penjara, baik penjara di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena sejatinya binatang itu tidak mempunyai pilihan hidup.
Tidak seperti manusia. Secara dhohir manusia harus memulai dan memilih, itulah amal. Dengan amal itu supaya ada sebab-sebab dhohir, yang akhirnya juga akan melahirkan akibat yang dhohir pula. Maka, apabila manusia hanya memilih bagian hidup yang senang saja, pada gilirannya, suatu saat pasti manusia akan menemukan bagian hidupnya yang susah. Yang demikian itu, oleh karena senangnya sudah dihabiskan di depan, maka dikemudian hari, yang akan tersisa hanya tinggal susahnya saja. Itulah hukum sebab akibat, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya. Namun demikian, sejatinya sebab dan akibat itu terjadi hanya mengikuti suratan takdir yang sudah ditentukan Allah Ta’ala sejak zaman azali.
Allah telah tegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. QS.al-Qoshosh.28/68.
Disinilah para awam kadang-kadang mengalami kebingungan. Mana bagian yang qodo’ dan mana bagian yang qodar ketika qodo’ dan qodar itu dikaitkan dengan satu amal perbuatan yang sedang dilakukan manusia. Untuk dapat memisahkan antara qodo’ yang azaliyah di dalam satu pelaksanaan amal hadits yang sejatinya juga adalah takdir Allah Ta’ala tersebut, yang terpenting bagi manusia adalah kemampuannya dalam memahami dan mengenali dirinya sendiri. Bahwa pada diri manusia itu ada dua kehendak atau irodah. Yang satu irodah azaliyah dan ia sudah ditentukan Allah Ta’ala sebagai qodo’-Nya sejak zaman azali dan yang satunya adalah irodah hadits, yaitu kehendak manusia yang sekarang yang sesungguhnya adalah merupakan qodar, atau takdir-Nya sekarang. Maka yang dimaksud dengan memadukan antara qodo’ dan qodar dalam satu amal perbuatan itu ialah, memadukan antara irodah azaliyah dengan irodah hadits yang ada pada diri manusia itu sendiri. Yaitu memadukan dua konsep dalam satu perasaan pengabdian dan ibadah secara rasional. Yang satu konsep langit dan yang satu konsep bumi. Konkritnya, ketika seorang hamba sedang menjalankan ibadah, baik vertikal maupun horizontal, hendaknya dia selalu ingat dan sadar serta mengetrapkan ingatan tersebut di dalam satu perasaan, bahwa ibadah yang sedang dikerjakan itu sejatinya adalah apa yang sudah di dahului oleh ketentuan Allah Ta’ala sebagai qodo’-Nya pada zaman azali sedangkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya sekarang, semata-mata adalah pelaksanaan dari ketentuan azali itu atau qodar-Nya. Maka, dalam ibadah yang sedang dilaksanakan itu, seorang hamba harus mampu menerapkan tiga tahapan penerapan di dalam perasaannya:
1. Seorang hamba haruslah selalu mampu sadar, bahwa dia adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala. Dari sekian makhluk ciptaan itu, sekarang, dirinya adalah sekaligus yang dipilih untuk menjadi seorang hamba yang mendapat kesempatan untuk menjalankan ibadah dan bermunajat di hadapan-Nya. Namun demikian, dia
juga harus sadar, bahwa ibadah yang sedang dikerjakan tersebut sejatinya sudah ditentukan-Nya—sebagai qodo’-Nya—sejak zaman azali, sedangkan keadaan yang sekarang ini hanyalah sekedar pelak-sanaan dari ketentuan tersebut sebagai qodar-Nya. Dengan yang demikian itu, maka saat itu dua pilihan telah menyatu menjadi satu. Yang satu pilihan manusia sebagai seorang Kholifah Bumi yang harus beramal dan mengabdi, dan yang satunya, hakikatnya adalah pilihan Allah Ta’ala yang sudah ditentukan sejak zaman azali, yaitu supaya saat itu sang Kholifah mampu mengabdi dengan pengabdian yang hakiki. Allah Ta’ala telah membongkar rahasia itu dengan firman-Nya:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. QS.al-Qoshosh.28/68.
Adalah penyatuan dua kehendak di dalam satu amal perbuatan. Yang satu kehendak yang hadits dan yang satunya kehendak yang qodim. Ketika kehendak yang hadits tersebut benar-benar dapat menyatu dengan kehendak yang qodim, maka yang hadits seketika menjelma menjadi qodim. Adalah sunnatullah, maka siapapun dapat mencapai sunnah itu asal mampu mancapainya dengan cara(sunnah) yang benar pula.
Rasulullah saw. membongkar rahasia itu dengan sabdanya yang artinya: “Permulaan dzikir adalah
gila(junun), pertengahan-nya adalah fana(funun) dan akhirnya adalah “kun fa yakun”(jadilah maka jadilah ia).
2. Kalau kemudian terbit di dalam pengakuan akal manusia bahwa pengabdian yang sedang dilaksanakan itu adalah bentuk amal perbuatan yang sedang dikerjakan dan diusahakannya sendiri, maka hendaklah dia cepat-cepat ingat pula bahwa sejatinya dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala. Kalau manusia adalah makhluk yang diciptakan-Nya berarti apa saja yang sedang diperbuat oleh manusia, berarti pula adalah ciptaan-Nya. Allah Ta’ala telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". QS:37/97.
Dengan itu, maka dua perbuatan menjadi satu dalam kesatuan amal dan ibadah yang sedang dikerjakan oleh seorang hamba secara hakiki adalah ciptaan-Nya juga.
3. Ketika akal seorang hamba ingat bahwa amal perbuatan itu pastilah telah didahului dengan kehendak (irodah) nya sekarang yang hadits maka segeralah seorang hamba ingat pula bahwa irodahnya yang hadits itu pun seejatinya adalah telah terlebih dahulu berangkat dari kehendak (irodah) Allah Ta’ala yang azali yang qodim. Allah Ta’ala telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya:
“Dan bukan kamu berkehendak (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS. al-Insan.76/30.
Saat itu, maka dua kehendak (masyi’ah) dalam satu amal telah menyatu dalam kesatuan kehendak. Yang satu kehendak seorang hamba yang hadits dan yang satunya adalah kehendak Allah Ta’ala yang qodim. Artinya, bahwa kehendak seorang hamba yang sekarang ini, sejatinya hanyalah sekedar pelaksanaan (qodar) yang diterbitkan dari kehendak Allah Ta’ala yang qodim(qodo’) yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Ketika dua pilihan telah menyatu di dalam satu
perbuatan. Dua amal menjadi satu di dalam satu penciptaan. Dua irodah telah larut di dalam satu kesatuan amal ibadah. Artinya ketika amal yang hadits itu telah menyatu dengan amal yang qodim, sehingga yang hadits akan menjelma menjadi qodim, dengan yang demikian itu, dengan izin Allah Ta’ala, dua energi akan bertemu dan menjadi satu dalam kesatuan amal perbuatan. Yang satu usaha seorang hamba untuk mengabdi dan yang satu adalah inayah Allah Ta’ala supaya amal perbuatan seorang hamba menjadi suatu pengabdian yang hakiki. Adalah penyatuan dua energi yang akan mampu menciptakan energi yang luar biasa. Maksudnya, energi bumi dengan energi langit ketika telah mampu disatukan dalam satu kesatuan sunnah, maka dengan izin Allah, “sunnah” itu akan mampu merubah sunnah-sunnah yang sudah ada. Itulah energi “karomah” yang hanya dimiliki oleh para kekasih Allah Ta’ala(waliyullah) yang suci lagi mulia.
Yaitu orang-orang yang kekhusu’an hatinya dalam menempa diri, baik dhohir maupun batin telah berhasil mensucikan ruhani(ruh)nya dari segala kotoran dan penyakit duniawi hingga ruhani itu kembali sebagaimana fithrahnya. Selanjut-nya, dengan izin Allah, apa saja yang dijumpainya, baik makhluk yang dhohir maupun yang batin akan mampu mengikuti komando hatinya untuk bersama-sama kembali kepada sebagai-mana fithrahnya Yang demikian itu, ketika kehendak nafsu dan akal telah sepakat secara totalitas mengikuti kehendak hati, maka hati akan leluasa terbang tinggi. Bagaikan sehelai rambut dicabut dari adonan roti, hati itu dengan mudah melakukan pengembaraan yang dikehendaki. Membuka dan memasuki pintu-pintu langit dengan kunci rahasia dan kendaraan yang sudah tersedia. Pulang pergi bermi’raj di dalam hamparan lembah yang disucikan dengan sesuka hati karena Inayah telah memfasilitasi.
Itulah anugerah yang utama, maka sebuah amal yang asalnya lemah dan hina, karena sekedar perbuatan seorang hamba yang hadits, akan menjadi kuat dan mulia karena telah mendapatkan inayah dari Dzat Yang Maha Mulia yang qodim. Untuk itulah, maka Allah SWT. Telah menganjurkan kepada seorang hamba yang sedang mengadakan pengembaraan malam dengan membaca sebuah do’a:
“Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. QS:17/80.
Yaitu, supaya hati seorang pengembara dapat masuk dan keluar di alam ruhaniyah(ghaib) dengan benar, sang pengembara malam itu harus mendapat-kan kekuasaan yang menolong (Sulthonul Ilahiyat), itulah “Inayah Allah” yang akan diberikan kepada hamba-hamba yang dikehendaki. “Inayah azaliyah” yang sejatinya telah dipancarkan-Nya sejak zaman azali. Bagaikan sinar mentari pada titik kulminasi, maka seorang hamba yang mencari sinarnya tinggal menempatkan diri untuk disinari.
Konsep Langit dan Konsep Bumi
Dalam kaitan menyatukan qodo’ dan qodar dalam satu amal ini, kewajiban pertama bagi seorang salik adalah memperkaya diri dengan dua konsep tersebut. Konsep langit yang juga disebut Ilmu Hakikat dan konsep bumi yang juga disebut Ilmu Syari’at. Dua dimensi ilmu yang telah banyak dibentangkan Allah Ta’ala baik di dalam Al-Qur’an Al-Karim maupun di dalam hadits Rasulullah saw. Seperti mutiara yang berserakan, tinggal manusia mampu menguntai dari keduanya dengan sebanyak-banyaknya. Agar dengan akalnya manusia mampu menjalankan konsep bumi dan dengan hatinya menjalankan konsep langit. Ketika dua dimensi ilmu yang berbeda itu dapat dipadukan dalam kesatuan amal ibadah, hasilnya, kehidupan manusia akan menjadi seimbang dan manusia itu akan menjadi insan kamil, manusia sempurna karena kedua kehidupannya, dhohir dan batinnya telah berjalan dengan sempurna. Semoga inayah Allah Ta’ala selalu menyertai kita semua. Salah satu konsep langit tersebut ialah apa yang telah disampaikan Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya berikut ini:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a berkata: “Rasulullah s.a.w adalah seorang yang benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari yang kedua terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap empat puluh hari ketiga menjadi menjadi segumpal daging. Kemudian Allah SWT. mengutus malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan menulis empat perkara, yaitu ditentukan rezekinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau kebahagiaan. Maha suci Allah SWT. tiada Tuhan selain-Nya. Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga,tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga dia memasukinya.
Menurut hadits Nabi saw tersebut diatas, bahwa jalan hidup manusia sudah ditentukan Allah Ta’ala semenjak proses kejadiannya di dalam rahim seorang ibu. Sejak malaikat diutus untuk meniupkan ruh kehidupan di dalamnya, Malaikat itu sejatinya juga diutus untuk menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan manusia itu. Ditentukan rezekinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya. Yaitu kelak akan mejadi orang celaka atau orang yang bahagia. Bahkan ditegaskan pula oleh Rasulullah saw. Dengan sabdanya: “Maha suci Allah SWT yang tiada Tuhan selain- Nya. Seandainya orang mengerjakan amal kebaikan seperti yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke Surga itu, namun disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya suatu saat dia akan melakukan amalan kejelekan seperti yang dilakukan penghuni Neraka sehingga dia dimasukkan ke dalam Neraka. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia juga akan melakukan amal seperti yang dilakukan penghuni Surga sehingga dimasukkan ke Surga”.
Oleh karena itu, ketika suatu saat Nabi Musa as. bertanya kepada Nabi Adam as. atas kekhilafan beliau yang telah diperbuatnya di surga sehingga menye-babkan umat manusia secara keseluruhan untuk sementara waktu harus menjalani hidupnya di dunia, Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa as. Allah Ta’ala telah mengabadikan peristiwa itu melalui sebuah hadits Rasul-Nya saw. Nabi saw bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: “Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa a.s, Nabi Musa as. berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga. Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah SWT telah memilihmu dengan kalam-Nya. Allah SWT menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa). Apakah kamu akan mencela aku terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT, sejak empat puluh tahun sebelum aku diciptakan…?”. Nabi s.a.w bersabda: “Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s. Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa as”.
Memang Nabi Adam as. telah berbuat kesalahan di Surga sehingga anak cucunya(manusia) harus mencicipi kehidupan alam dunia yang penuh tantangan dan duka ini. Meski kesalahan itu karena manusia tidak dapat menahan gejolak hawa nafsunya, namun kesalahan itu sejatinya adalah awal sunnah yang sudah ditentukan sejak zaman azali bagi manusia. Dengan kesalahan awal itu, hikmahnya, supaya manusia mau berbuat benah-benah. Memasuki sunnah-sunnah yang berikutnya untuk mengembalikan yang sudah kotor kepada kesucian fithrahnya. Yang demikian itu, karena hanya dengan nafsu dan kesalahan itulah, kemudian manusia dapat mengenal jarak perjalanan antara dirinya dengan Tuhannya. Asal dosa dan kesalahan itu mampu menerbitkan semangat ibadah dan taubatan nasuha, sehingga dengan dosa dan kesalahan itu manusia akan dikembalikan ke surga yang dahulu telah ditinggalkan nenek moyangnya. Namun, apabila dosa itu tidak menumbuhkan semangat ibadah, tapi malah menjadikan hatinya keras dan sombong, berarti dengan dosanya manusia akan dimasuk-kan ke Neraka selama-lamanya.
Hmmm... Ruaaaaar biasaaaaa... Hati yang khusyu akan tercermin dalam hidup yang khusyu... bukan ibadah yang khusyu... tetapi sudah meliputi hidup dalam yaa kanna budu waa iyaa kanastain... hidup yang khusyu adalah jiwa jiwa yang tercerahkan... hati yang sudah dibangkitkan dan dihidupkaaaaaan... mauuu dunnk... huuuuuuuuwaaaaaaakakakak..
BalasHapusSalam Sayang
wah satu lagi dari kang boad terus ke PJ dan ketemu di blog ini. kenapa sekarang orang termasuk orang tua kita tidak mepercayai hal ini... semisal masih memaksa anak wanitanya menikah dengan orang yang tidak dia sukaiin apalagi hanya karena gengsi dan harta. saya copy boleh mas biar teman2 saya lebih mengerti tentang hal ini. salam kenal mas mampirin blog saya bila perlu kritik bila terdapat aritikel yang tidak masuk katagori baik. maksih mas
BalasHapusASS. WR. WB
BalasHapus" APAPUN yang terjadi di alam semesta ini termasuk yang terjadi pada diri manusia memang sudah ditentukan oleh ALLAH SWT, cuma bila berbicara mengenai TAKDIR itu ada di wilayah keimanan, jadi memang hukumnya benar demikian. "
manusia hanya wajib berusaha merubah keadaannya dalam arti kesadaran dan bukan merubah TAKDIR, sedangkan apaun hasilnya maka sikapilah dengan keimanan bahwa itu sudah TAKDIR ALLAH dan ALLAH memberikan yang terbaik buat kita..
makasih mas..
Wass