TERBUKANYA MATAHATI MENUJU MA’RIFATULLAH
اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَلِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالأَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ , وَاَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ .
Apabila Allah berkehendak membukakan wijhah hatimu untuk menerima ma’rifat, maka tidak peduli lagi walau amalmu sedikit. Karena bila Allah membuka hatimu semata-mata karena berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepadamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya ma’rifat itu didatangkan untukmu dan amalmu adalah persembahan untuk-Nya, mana yang lebih tinggi nilainya bagimu, apa yang datang darimu atau apa yang didatangkan kepadamu?.
Wijhah merupakan anugerah Allah s.w.t kepada seorang hamba yang letaknya di dalam hati sanubari. Meski didatangkan sebagai buah ibadah, namun datangnya wijjah tersebut semata-mata kehendak azaliah bukan karena ibadah yang dilakukan itu. Dengan wijhah, seorang hamba dapat melaksanakan tawajjuh (menghadap dan wushul) kepada Allah s.w.t. dengan benar. Yang dimaksud tawajjuh sebagaimana yang dinyatakan Allah s.w.t dalam firman-Nya berikut ini:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan hadapanku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak menoleh kepada yang selain-Nya (hanifa) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan”. (QS. al-An’am; 6/79)
Dengan wijhah itu pula seorang hamba mendapatkan kemuliaan dan kedekatan di sisi Tuhannya: “Seorang terkemuka (mempunyai wijhah) di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran; 45) Namun hal tersebut bisa terjadi manakala pintu wijhah itu sudah dibuka (di dalam hati), atau seorang hamba telah mendapatkan futuh dari Tuhannya, dengan itu maka dia akan berma’rifat dengan-Nya.
Ma’rifat artinya mengenal dan yang dimaksud adalah mengenal Allah s.w.t (ma’rifatullah). Orang yang ma’rifatullah adalah orang yang kenal kepada Allah s.w.t. Kenal kepada nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, kekuasaan dan pengaturan-Nya, akhlak dan perbuatan-Nya. Kenal, baik secara rasional (teori ilmiah) maupun secara spiritual (perasaan dalam hati). Namun yang dimaksud ma’rifatullah adalah kenal secara spiritual.
Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba yang bertakwa kepada Tuhannya. Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba sanggup berbuat benar (shiddiq) dan tidak salah di hadapan Tuhannya. Yang demikian itu, karena ia tahu apa yang dikehendaki Allah s.w.t untuk dirinya.
Semakin seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, maka ia akan menjadi semakin mencintai-Nya karena ia semakin mengetahui dan semakin merasakan, bahwa Allah s.w.t sudah berbuat kebaikan yang sangat banyak kepada dirinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS. Al- Qoshosh; 77)
Semakin seorang hamba mencintai Tuhannya, semakin itu pula ia mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki. Sebab, hanya kepada yang dicintai, seseorang akan mampu melaksanakan pengabdian yang benar. Demikian juga, semakin seorang hamba mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki kapada Tuhannya berarti derajatnya di sisi Allah s.w.t akan menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu, orang yang paling berma’rifat dan paling bertakwa dan paling mulia di sisi Allah s.w.t adalah Rasulullah s.a.w. Hal itu karena Beliau paling mencintai dan paling dicintai oleh Allah s.w.t.
Untuk mencapai ma’rifatullah. Secara teori, seorang hamba akan diperjalankan oleh tarbiyah Allah s.w.t dengan dua cara:
1. Kehendak yang datangnya dari atas ke bawah. Artinya, semata-mata wijhah yang ada di dalam hati—yang asalnya tertutup—dibuka oleh Allah s.w.t. Hijab-hijab matahati dihapuskan. Penutup pintu rahasia dibukakan. Seperti orang menyalakan lampu, maka yang asalnya gelap menjadi terang, yang asalnya tidak kenal kemudian menjadi kenal. Bagaikan mendung ketika sirna, matahari kemudian berada di atas kepala. Hal itu karena Allah s.w.t memang berkehendak mengenalkan diri kepada hamba-Nya, tidak dengan sebab yang lain, tidak dengan sebab amal ibadah yang sudah dikerjakan. Yakni, seorang hamba menjadi mengenal kepada-Nya semata-mata karena Allah s.w.t adalah Dzat Yang Maujud:
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
“Katakanlah : “Allah-lah” kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. al-An’am; 6/91).
2. Kehendak dari bawah kemudian ke atas. Artinya terlebih dahulu seorang hamba dikenalkan kepada makhluk-makhluk-Nya baru kemudian dikenalkan kepada Al-Khalik (penciptanya), Sebagaimana firman Allah s.w.t:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2; 164)
Pengenalan seorang hamba kepada Sang Pencipta langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar serta kemanfaatan-kemanfaatan yang dapat dimanfaatkan bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah s.w.t hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.
Perhatian dan penelitian seorang hamba terhadap semua itu menghasilkan suatu kesimpulan bahwa betapa Allah s.w.t telah banyak berbuat baik kepada umat manusia dan betapa sangat banyak manusia yang tidak mengetahui dan tidak menyadarinya dan bahkan kafir kepada-Nya. Pemahaman tersebut kemudian menjadikan tumbuhnya rasa kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Hasilnya, mendorong dirinya untuk bertaubat dengan taubatan nasuha dan meningkatkan diri dalam melaksanakan pengabdian kepada Allah s.w.t.
Ma’rifat yang pertama adalah ma’rifat yang langsung memancar dari hati dan ruh (spiritual) yang kemudian dipancarkan lagi di dalam akal dan fikir (rasional ilmiah) yang selanjutnya dapat teraktualisasikan melalui akhlak dan perbuatan. Itu bisa terjadi karena seorang hamba memang telah terlebih dahulu dicintai Allah kemudian ia mencintainya. Ma’rifat yang pertama ini lebih kuat daripada ma’rifat yang kedua karena ia lebih hakiki adanya dan karena sesungguhnya letak ma’rifat itu adalah di dalam hati.
Ma’rifat yang kedua adalah ma’rifat hati (spiritual) juga, akan tetapi masuknya terlebih dahulu melalui akal dan fikir (rasional). Yakni pengenalan seorang hamba kepada kejadian-kejadian yang ada di bumi dan di langit menjadikannya mengenal kepada Sang Pencipta. Seperti orang yang mengenal buah karya tulis, ketika semakin dalam pengenalannya akhirnya ia ingin mengenal penulisnya.
Walau jalan masuknya ma’rifat yang kedua ini melalui rasional, akan tetapi ketika masuk ke dalam spiritual (hati), masuknya ma’rifat itu semata kehendak Allah. Hanya saja kehendak itu telah didahului oleh kehendak-kehendak yang sebelumnya—sebagai sebab-sebab yang tersusun tertib untuk mendapatkan akibat yang baik,—yaitu pahala dari amal ibadah yang sudah dilakukan.
Bukan karena semata-mata amal ibadah yang dapat menjadikan seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, akan tetapi sesungguhnya amal ibadah tersebut terlebih dahulu dijadikan sebab-sebab untuk bisa terpenuhi suatu proses pematangan ilmu pengetahuan secara rasional. Yakni supaya sampai kepada suatu akibat yang baik, yaitu pendewasaan ilmu dan akhlak secara spiritual.
Amal ibadah adalah persembahan seorang hamba kepada Tuhannya sedangkan ma’rifat adalah pemberian Allah kepada hamba-Nya, manakah yang lebih tinggi nilainya? Oleh karena itu, apabila Allah s.w.t berkehendak membukakan pintu wijhah hati seorang hamba untuk menerima Nur Ma’rifat, tidak peduli walau hamba-Nya itu sedang lemah dan sedikit amal ibadahnya. لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ اَمَدِ العَطَاءِ مَعَ الاِلْحَاحِ فِى الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لك الاِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَفِى الوَقْتِ الَّذِى يُرِدُ لَا فِى الوَقْتِ الَّذِى تُرِيْدُ
“Tertundanya pemberian setelah do’a itu dipanjatkan dengan berulang-ulang, hal itu jangan menimbulkan putus asamu kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin diterimanya do’a, akan tetapi mengikuti pilihan Allah untukmu bukan mengikuti pilihanmu untuk dirimu dan di dalam waktu yang dikehendaki Allah bukan di dalam waktu yang engkau kehendaki”.
Berdo’a adalah salah satu kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Allah s.w.t berjanji akan mengabulkan do’a-do’a tersebut sebagaimana firmanNya:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombong-kan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al Mu’min(40)60)
Ketika seorang hamba berdo’a kepada Allah s.w.t dengan sungguh-sungguh, terlebih lagi do’a itu dilaksanakan dengan istiqamah (terus-menerus), maka do’a tersebut akan dikabulkan. Demikian itu karena Allah s.w.t sudah berjanji, maka sedikitpun Allah s.w.t tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.
Namun demikian, do’a-do’a yang dipanjatkan itu harus memenuhi syarat sebagai do’a yang dikabulkan. Rasulullah s.a.w telah menegaskan dengan sabdanya: “Setiap do’a yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah s.w.t asal tidak tercampur dengan dosa dan memutuskan tali silaturrahmi, do’a itu akan dikabulkan dalam tiga pilihan:(1) Diturunkan seketika di dunia dalam bentuk pemberian sesuai dengan permintaan; (2) Dijadikan simpanan di akhirat sebagai kafarat dari dosa-dosanya; (3) Digantikan sebagai ganti musibah yang tidak jadi diturunkan demi keselamatannya.” (atau yang searti dengannya).( Disampaikan oleh Hadrotusy Syekh Romo KH. Ahmad Asrory Al Ishaqy r.a dalam pengajian rutin minggu 2 di Ponpes Assalafi Al Fithrah Kedinding Surabaya)
Oleh karena itu, setelah do’a-do’a tersebut dipanjatkan, hendaknya seorang hamba yakin bahwa do’a-do’anya akan dikabulkan, walau ijabah itu dalam tiga pilihan yang masih dirahasiakan tersebut. Hanya Allah s.w.t yang Memilih, Menghendaki dan Mengetahuinya. Allah s.w.t berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqoroh; 2/186)
Asy-Syekh Ibnu Athaillah r.a meneruskan:
لَا يُشَكِّكَنَّكَ فِى الوَعْدِ عَدَمَ وُقُوْعِ المَوْعُوْدِ وَاِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُهُ لِئَلّاَ يَكُوْنَ ذَلِكَ قَدْحًا فِى بَصِيْرَتِكَ وَاِخْمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ
“Jangan sekali-kali meragukan janji Allah karena belum terpenuhinya janji itu walau batas pelaksanaannya sudah sangat dekat, supaya yang demikian itu tidak menjadikan redupnya sinar mata hatimu dan memadamkan cahaya rahasia batinmu”.
Allah s.w.t Lebih Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya, baik urusan dunia, agama maupun akhirat. Terlebih urusan rizki, karena dengan urusan rizki-rizki itu manusia bisa menjadi selamat atau tidak. Allah s.w.t tidak mengingkari janji-Nya bahwa setiap hamba-Nya yang berdo’a dengan benar pasti akan dikabulkan-Nya. Janji Allah tersebut ditegaskan dengan firman-Nya:
وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“(sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”. (QS.ar Rum(30)6)
Namun demikian, bagi hamba-hamba yang beriman—berkat kasih sayang-Nya yang dalam kepada mereka—apa saja yang diberikan kepadanya haruslah yang menjadikan mereka lebih baik. Dalam hal ini Allah s.w.t adalah yang lebih mengetahuinya. Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya : “Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”. (QS. 42; 27)
Oleh karena itu, jika ada janji Allah s.w.t yang seakan-akan belum terpenuhi, padahal menurut pengetahuan dan perasaan seorang hamba yang sedang terdesak, seharusnya saat terpenuhinya janji itu sudah sangat mendesak, bahkan sudah tidak ada waktu lagi untuk tertunda. Dalam hal yang demikian itu, janganlah menjadikan hati seorang hamba ragu-ragu kepada Allah s.w.t.
Siap Menerima Kenyataan
Bagaimanapun keadaan yang akan dan sedang terjadi, hati seorang hamba yang beriman hendaknya tetap yakin serta siap menghadapi, bahwa apa saja yang dikehendaki Allah s.w.t pastilah yang terbaik untuk dirinya. Yang demikian itu, supaya matahati dan cahaya rahasia batin tidak menjadi redup dan padam. Sebab, ketika ujian-ujian hidup itu sudah cukup menurut pandangan Allah, dan ketika seorang hamba telah melewatinya dengan nilai yang baik, maka problematika kehidupan dan bahkan konflik-konflik horizontal yang telah berlalu, sesungguhnya itu merupakan proses masuknya ilmu pengetahuan dalam hati yang tinggi nilainya. Itulah ilmu rasa, ilmu pengetahuan yang dapat mematangkan jiwa manusia. Ilmu pengetahuan yang mampu menebalkan keyakinan, membakar lapisan kabut hati sehingga menjadikan matahati seorang hamba semakin cemerlang dengan Nur Ma’rifat kepada Allah.
Hanya dengan cara seperti itulah Allah s.w.t memperjalankan kehidupan para hamba pilihan-Nya dan bahkan para nabi dan rasul-Nya. Mereka itu semua diperjalankan dalam realita kehidupan yang sesungguhnya. Mereka harus menghadapi kesulitan dan tantangan serta goncangan-goncangan hidup yang tidak ringan:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. al Baqoroh; 214)
Ketika keadaan mereka itu benar-benar telah terdesak baru pertolongan-Nya diturunkan, karena sungguh sedikitpun Allah s.w.t tidak akan mengingkari janji-Nya. Untuk menyikapi hal tersebut, menyangka baik adalah kuncinya. Orang yang mampu berhusnudz dzan kepada Tuhannya berarti telah mencapai 90% keberhasilan hidupnya. (malfiali)
اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرِكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى اِنْطِمَاسِ البَصِيْرَةِ مِنْكَ
“Kesungguhan dalam mengusahakan sesuatu yang sudah terjamin bagimu dan keteledoran dalam menjaga apa yang diwajibkan bagimu, menunjukkan tanda-tanda bahwa matahatimu dalam keadaan tertutup”.
Seluruh makhluk baik di langit maupun di bumi diciptakan Allah Ta’ala untuk kepentingan manusia. Maksudnya, hikmah penciptaan mereka itu hanya untuk hidup manusia, bukan sebaliknya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah; 13)
Merupakan rahmat Allah Ta’ala yang terbesar bagi manusia, malaikat dan jin diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Bukan Nabi Muhammad s.a.w diciptakan untuk melayani malaikat Jibril, tapi malaikat Jibril tercipta untuk melayani Nabi Muhammad s.a.w. Terlebih lagi makhluk yang ada di bumi, mereka semua tercipta hanya untuk kebutuhan hidup manusia. Di udara dengan aneka macam burung-burung dan di bumi dengan tumbuhan dan hewan, demikian juga di laut dengan ikan-ikannya. Semua itu ditebarkan dengan melimpah ruah hanya untuk kebutuhan hidup manusia.
Adapun manusia hanya diciptakan untuk Allah s.w.t, hanya untuk mengabdi kepada-Nya, tidak boleh mengabdi kepada selain-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat; 56) Artinya, dengan seluruh potensi alam tersebut, manusia harus dapat mempergunakannya untuk mengabdi kepada-Nya. Apabila ada pengabdian kepada selain-Nya, seperti kepada guru-guru, orang tua, istri dan anak serta kepada sesama manusia, pengabdian itu dijadikan wasilah guna melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah s.w.t
Secara umum rizki yang disediakan Allah bagi manusia tersebut ada tiga sifat:
1. Rizki yang dijamin. Rizki yang dijamin ini bukan hanya untuk manusia saja, bahkan untuk seluruh makhluk yang ada. Yaitu rizki-rizki yang sudah tersedia dan ditebarkan Allah Ta’ala di muka bumi, meski cara mendapatkannya harus dengan jalan usaha (ikhtiar). Allah menegaskan dengan firman-Nya:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُوم
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”. (QS. Al Hijr/15; 21)
Betapapun kerasnya seseorang berusaha, seandainya rizki-rizki itu tidak tersedia sebelumnya, bisakah mereka mendapatkannya? Seperti orang menanam benih, seandainya tanah yang ditanam tidak tercipta dapat menumbuhkan tanaman, dapatkah mereka manuai hasilnya? Demikianlah sunnah yang sudah ditetapkan (sunnatullah). Dengan sunnah-Nya pula setiap makhluk mendapatkan rizki yang sudah ditetapkan baginya.
2. Rizki yang ditambahkan. Rizki ini bisa didapatkan ketika seorang hamba mampu bersyukur kepada Allah. Hal itu dinyatakan dalam firman-Nya; “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. 14; 7) Kalau manusia belum bisa bersyukur, padahal dia mendapatkan rizki yang melimpah, berarti didatangkan dari jenis “rizki yang dijamin”, bukan yang ditambahkan. Hanya saja ia mendapatkan bagian yang lebih besar daripada orang lain.
3. Rizki yang dijanjikan. Yaitu rizki yang didatangkan dari rahasia (buah) ibadah yang dijalani. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS.an Nahl/ 16; 97)
Adapun kebutuhan hidup manusia juga terdapat tiga macam. Pertama untuk kecukupan hidup (primer). Kedua untuk kesempurnaan hidup (sekunder) dan ketiga untuk kesenangan hidup (tersier). Kebutuhan untuk kecukupan hidup, boleh jadi semua orang hidup sudah mendapatkan. Buktinya, bagaimanapun susahnya hidup seseorang, rata-rata mereka masih bisa makan minimal dua kali sehari. Sedangkan kebutuhan untuk hidup sempurna, oleh karena tingkat kesempurnaan hidup ada batasnya, maka yang demikian itu bisa direncanakan dan dibatasi. Berbeda bila yang dibutuhkan hidup adalah memperturutkan kesenangan, terlebih hanya berdasarkan kemauan hawa nafsu, kebutuhan inilah yang tidak terbatas, karena batasan senang hanyalah kematian.
Jika ketiga rizki tersebut dikaitkan dengan ketiga jenis kebutuhan hidup, maka cara mengusahakannya menjadi variatif. Jalan ikhtiar itu mengikuti jenis kebutuhan hidup tersebut. Saat itulah “iman dan tawakkal” seorang hamba diuji. Apabila dalam mengusahakan “rizki yang sudah dijamin” menjadikan sebab keteledorannya terhadap sesuatu yang diwajibkan, yakni beribadah dan mengabdi kepada Dzat yang memberikan rizki tersebut, berarti menunjukkan tanda-tanda matahatinya sedang tertutup.
Sarana Ibadah
Seringkali orang mengatakan, bahwa rizki-rizki yang dimiliki sekedar untuk mencukupi kebutuhan ibadah. Kalau dalam mencari rizki itu memang benar-benar mencari sarana ibadah, maka usaha itu juga termasuk ibadah. Namun, seperti orang mengerjakan shalat, setiap ibadah pasti ada syarat dan rukunnya serta syah dan batalnya ibadah, maka dalam mengusahakan rizki itu manusia harus memilih jalan yang dibenarkan dan dihalalkan oleh Agama.
Dalam kaitan tersebut, keadaan hati manusia dapat terbaca dari bagaimana cara mereka mensikapi harta benda yang sudah dimiliki. Kalau harta-harta itu ternyata memudahkan untuk melaksanakan ibadah dan ringan dibelanjakan di jalan Allah, berarti—usahanya dalam mendapatkan rizki tersebut— benar-benar ibadah. Apabila tidak, bahkan usahanya dalam mencari rizki-rizki tersebut ternyata justru mengalahkan kewajibannya dalam melaksanakan ibadah, maka boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya, justru ibadah yang dilakukan itulah, sesungguhnya hanya dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan rizki dunia. Jika demikian, berarti matahati manusia itu dalam keadaan buta.
Oleh karena sebagian manusia hanya melihat dengan mata lahir saja sedangkan mata batinnya buta, maka yang tampak hanya kebutuhan hidup yang lahir bukan yang batin, kebutuhan nafsu syahwat bukan kebutuhan hati dan ruhani. Akibatnya, meski mereka telah melaksanakan amaliyah yang berkaitan dengan urusan yang batin, seperti berdzikir misalnya, namun tujuan akhirnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang lahir. Bahkan majlis dzikir itu hanya dijadikan sarana untuk kepentingan politik. Fenomena berbicara, belakangan ini banyak majlis dzikir didirikan tetapi tujuannya untuk kepentingan duniawi. Mereka mengumpulkan orang banyak dalam wadah ‘majlis dzikir’, tetapi tujuannya bukan untuk berdzikir kepada Allah melainkan supaya orang-orang yang dikumpulkan itu memilih dirinya menjadi pejabat atau wakil pejabat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian manusia terbukti banyak yang matahatinya buta. (malfiali)
اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ, فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“
Lenturkan hatimu untuk menerima apa yang sudah dalam pengaturan, apa saja yang sudah diatur oleh selainmu maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu”.
Mengatur diri untuk menerima dan mengikuti segala yang diatur Allah bagi diri sendiri merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Menentukan pilihan terhadap apa yang sudah dipilihkan Allah untuk diri pribadi merupakan keharusan untuk dapat melaksanakan pengabdian hakiki. Hal itu disebabkan, karena hanya Allah yang Maha Pencipta, maka hanya Allah yang terlebih dahulu mengatur segala kehidupan alam semesta. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. (QS. al-Qashash(28)68)
Apabila ada pengaturan selain-Nya yang berjalan tidak sesuai dengan aturan Allah pasti akan sia-sia. Dan ketika masa tangguhnya telah terlewati, aturan itu pasti akan hancur berantakan tanpa ada bekasnya lagi.
Seorang hamba wajib melaksanakan ibadah, namun juga merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya adalah mengatur dan memilih jenis ibadah tersebut minimal mendekati ketetapan yang sudah ditentukan Allah s.w.t sejak zaman azali. Caranya, menghadapi realita baik senang maupun susah dengan hati yang pasrah. Melenturkan hasrat dan semangat, mengikuti apa yang sedang dihadapi, karena yang sudah terjadi pasti sesuai dengan kehendak Allah untuk dirinya, dengan asumsi bahwa Allah tidak pernah salah di dalam berbuat.
Allah mencintai orang-orang yang beriman (QS.al Baqoroh/257). Adakah orang yang mencintai akan memberi sesuatu yang tidak layak bagi orang yang dicintai? Oleh karenanya, seluruh ketetapan Allah pasti merupakan hal yang terbaik bagi orang beriman. Namun demikian, tinggal bagaimana kekuatan iman orang tersebut dalam menyikapi ketetapan Allah itu dengan hati selamat. Ketika seorang hamba menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya, menghadapi musibah dan fitnah misalnya. Sanggupkah hatinya tetap yakin bahwa hal tersebut merupakan ujian untuk meningkatkan keimanan dan kecintaannya kepada Allah. Jika tidak, berarti bukan Allah tidak mencintainya tetapi pertanda cintanya kepada Allah kurang sempurna.
Allah s.w.t adalah Sang Pencipta dan Sang Pengatur Alam Semesta, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?.” (QS.Yunus( 10) 3)
Hanya Allah yang mengatur segala kejadian baik di langit maupun di bumi. Merupakan bagian dari aturan-Nya itu, Allah juga mentarbiyah hati hamba-hamba-Nya yang beriman. Dengan tarbiyah itu supaya iman di hati mereka tumbuh berkembang menjadi yakin dan ma’rifatullah. Oleh sebab itu, terhadap hamba-hamba yang dicintai itu, apa saja yang ada dalam kehidupan mereka senantiasa dijadikan sebagai sarana dan media supaya Allah s.w.t dapat berkomunikasi dan menyampaikan segala kehendak-Nya:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. (QS.al-Anbiya’(21)35)
Keburukan dan kebaikan yang terjadi, semua itu bertujuan supaya seorang hamba senantiasa sadar bahwa ia harus kembali kepada Allah dalam keadaan baik sebagaimana asalnya. Kembali dalam keadaan sebagaimana fithrahnya. Untuk tujuan tersebut keburukan dan kebaikan dijadikan sebagai media fitnah atau ujian bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Dalam menghadapi realita hidup tersebut, kekuatan iman adalah hal yang sangat menentukan supaya seorang hamba mampu menyikapinya dengan tepat.
Kalau iman dalam hati sudah kuat maka jiwa akan menjadi mantab. Kalau hati sudah percaya bahwa keduanya hanyalah sekedar batu ujian untuk menjaga kekuatan iman, maka apapun yang sedang dihadapi sesungguhnya secara hakiki hanya menghadapi Allah s.w.t sebagai kehendak dan pilihan-Nya.
Oleh karena itu, Allah s.w.t haruslah yang paling dicintai. Jika yang dicintai oleh seorang hamba hanya Allah, sedangkan yang selain-Nya sekedar sarana guna mengaktualisasikan kecintaan tersebut, maka baginya tidak ada pilihan dalam menghadapi realita, baik susah maupun senang pasti akan dirasakan sama-sama nikmat. Ketika menghadapi susah, hatinya malah menjadi senang, karena ia yakin bahwa di balik susah itu pasti ada senang. Namun sebaliknya, ketika sedang menghadapi senang, hatinya malah menjadi susah dan prihatin, karena ia tahu bahwa di balik senang itu pasti adalah susah menunggu giliran datang. Oleh karena itu, senang tersebut tidak dihabiskan sendiri, tetapi dibagi bersama orang-orang lain.
Orang beriman tidak boleh mengikuti kemauannya sendiri ketika ia tahu bahwa Allah sudah memilihkan ketetapan untuk dirinya, apabila hal tersebut dilakukan berarti ia berbuat durhaka kepada Tuhannya. Allah s.w.t telah menegaskan dengan firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS.al-Ahzab(33)36)
Sebagai seorang kholifah bumi, manusia harus mengatur diri sendiri supaya hidupnya menjadi baik, namun sebagai seorang hamba ia harus menerima segala aturan yang sudah ditetapkan Allah Ta’ala bagi dirinya. Padahal tidak banyak orang tahu, mana yang harus diatur dan mana yang sudah diatur oleh Allah untuk dirinya. Oleh karena itu, orang-orang beriman harus mampu mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Mengenal hak dan kewajibannya di hadapan Tuhannya, itulah yang dimaksud ma’rifatullah. Dengan pengenalan tersebut mereka menjadi tahu, mana yang harus di atur mana yang harus diterima.
Apabila tidak demikian, apabila manusia hanya mengatur saja dan tidak mau menerima aturan Allah untuk dirinya, maka ketika aturannya tersebut ternyata tidak menghasilkan kenyataan sebagaimana yang diharapkan, seringkali mereka menjadi putus asa. Ketika aturan tersebut berkaitan dengan urusan secara horizontal, maka dari sinilah awal mula terbitnya penyakit hasud, iri dan dendam kepada sesama manusia. Terlebih ketika kemampuan hidupnya sudah menipis karena digerogoti usia yang semakin habis sedangkan kenyataan hidup belum menunjukkan tanda-tanda menuju harapan dan keinginan, maka dalam kondisi demikian manusia bahkan menjadi stress dan kehilangan diri. Penyakit-penyakit datang bertumpukan karena hidup berjalan tidak seimbang.
Untuk menjadi kholifah bumi manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan untuk menjadi seorang hamba yang berma’rifat manusia harus memperbanyak berdzikir kepada Allah. Jadi perpaduan antara dzikir dan pikir yang dibangun secara seimbang dalam kehidupan akan mampu menjadikan jiwa menjadi kuat dan tahan uji. Menjadi manusia sempurna baik lahir mapun batin, lahirnya penuh dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan batinnya penuh dengan hidayatullah. Itulah yang dimaksud dengan insan kamil. Allah Ta’ala memberikan sinyalemen dengan firman-Nya yang artinya:
“
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal - (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS.Ali Imran(3)190-191)
(malfiali)سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَخْرُقُ اَسْوَارَ اْلأقْدَارِ
“
Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.
Seorang salik (pengembara di jalan Allah) dalam menggapai cinta dan cita. Mereka mengadakan pengembaraan ruhaniah dengan melaksanakan mujahadah dan riyadlah. Hal tersebut dilakukan bertujuan semata-mata untuk mengabdi serta melatih diri meningkatkan iman dan yakin, karena mereka melaksanakan perintah Kitab Suci yang dinyatakan dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS.al Ankabut(29)69)
Sejak dahulu sampai sekarang, pengembaraan tersebut mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh, dengan melupakan urusan lain dan bahkan mengorbankan kepentingan duniawi. Untuk sementara mereka meninggalkan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Baik dengan sendiri-sendiri maupun dalam kelompok kecil, mereka melakukan perjalanan suci tersebut. Beri’tikaf dengan bersafari dari satu masjid kepada masjid yang lain, dan kadang juga dengan menyepi dan mengasingkan diri dari dunia ramai, tinggal di dalam gua-gua di tengah hutan bahkan bermukim dalam waktu-waktu tertentu di komplek-komplek makam para waliyullah.
Namun demikian, betapapun kerasnya usaha tersebut, sesungguhnya mereka tidak akan mampu melewati batas yang sudah digariskan oleh takdir Allah s.w.t Demikian itu yang dimaksud oleh asy-Syekh Ibnu Atho’illah r.a, dalam konsepnya di atas: “Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.
Meskipun demikian, seorang hamba harus memulai dengan bekerja dan berusaha. Mereka harus menyingsingkan lengan baju, mencangkul dan membajak sawah. Memilih benih unggul, membaca pergantian musim dan mengalirkan air dari sumbernya. Ketika benih di tangan akan ditanam, hendaknya ditanam di tanah yang tepat dan cocok. Kalau tidak, betapapun telah dilakukan dengan memeras keringat darah sekalipun, jika benih tersebut ditanam di tanah yang tidak cocok, benih itu tidak akan dapat tumbuh dengan sempurna. Kalaupun bisa tumbuh, namun tidak akan berbuah dengan baik. Apabila hal tersebut terjadi, berarti pekerjaan itu sia-sia. Amaliyah menjadi seperti debu bertebaran dan kemudian akan hilang sama sekali.
Dari setiap jenis tanah pasti mempunyai kekhususan. Di situ ada indikator yang dapat dibaca oleh matahati yang ‘arifin guna mengetahui rahasia garis takdir Allah terhadap seorang hamba. Namun tanah yang dimaksud bukan yang ada dipermukaan bumi, akan tetapi yang berada di dalam dada seorang hamba yang beriman. Allah s.w.t telah menetapkan sunnah-Nya, menciptakan garis-garis batas dan tanda-tanda—terhadap setiap jenis makhluk yang diciptakan-Nya: “
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran; 190) Ketetapan tersebut tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya.
Seorang petani yang baik seharusnya tidak hanya mampu mengenali jenis benih unggul saja, namun juga sifat tanah dan gejala pergantian musim serta jenis-jenis penyakit dan obat-obatan. Hal itu agar apa yang diusahakan minimal dapat mendekati kebenaran. Pekerjaan itu tidak melenceng dari suratan takdir yang tidak dapat ditembus oleh usaha manusia. Dalam kaitan pelaksanaan pengembaraan ruhaniyah ini, untuk menyikapi hal tersebut, mereka harus mampu menyatukan ‘dua kehendak yang berbada’ yang terbit dalam jiwa mereka sendiri.
Menanam benih itu tidak hanya di hati orang lain saja, namun juga yang penting di hatinya sendiri. Dengan dzikir misalnya, ketika dzikir itu diniatkan untuk melaksanakan mujahadah kepada Allah, hal itu dilakukan untuk membangun sebab-sebab supaya mendapatkan akibat yang baik. Jika dengan amaliyah tersebut seorang hamba berharap dibukakan hatinya untuk menerima Nur Ma’rifatullah serta Rahasia-rahasia kebesaran-Nya, maka hendaklah orang tersebut ingat bahwa Allah s.w.t telah berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.ash Shaafat(37)96)
Artinya; apapun yang sedang dikerjakan manusia, sesungguhnya—seperti juga dirinya—pekerjaan itu adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu, sejak dzikir itu dilakukan, hendaknya diberangkatkan dengan pemahaman yang kuat, bahwa dzikir tersebut hanyalah sebuah pelaksanaan (taqdir) dari sebuah ketetapan (qadla) sejak zaman azali. Orang yang sedang berdzikir itu harus mampu meredam kemauan basyariyahnya dan mengembalikan kepada ketetapan takdir azaliah serta menjiwai lafat-lafat dzikir yang sedang dibaca dengan dasar keyakinan, bahwa seorang hamba hanya sebagai pelaksana yang sekarang sedangkan Allah yang Maha Kuasa adalah perencana pekerjaan itu sejak zaman azali.
Dengan yang demikian itu, ketika irodah hadits dan irodah azali menyatu dalam satu semangat. Seorang hamba berdzikir dengan usahanya dan Sang Junjungan berdzikir dengan kekuasaan dan izin-Nya, maka dzikir yang asalnya lemah—karena dilaksanakan pada dimensi hadits—akan menjadi kuat karena dilaksanakan dalam kebersamaan dengan dimensi qadim. Selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan istilah “Tauhidul Fi’li” atau satu dalam perbuatan. Yang satu perbuatan seorang hamba secara majazi dan yang satunya perbuatan Sang Junjungan secara hakiki. Inilah yang disebut meditasi Islami. Melaksanakan konsep sebagaimana yang disampaikan dalam ungkapan Jawa: ‘mati sakjeroning orep supoyo biso orep sakjeroning pati’. Setelah orang mampu mencapai tahapan tersebut, segera dia harus meningkatkan dzikirnya pada tahapan berikutnya. Yakni dia hendaknya mengingat lagi, bahwa Allah pernah berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at Takwir(81)29).
Artinya: sesungguhnya apa yang dilakukan tersebut hanyalah terbit dari satu kehendak, yaitu kehendak Allah Yang Menciptakan Alam Semesta. Kehendak-Nya merupakan sebab pertama, kemudian dari kehendak itu timbul kehendak-kehendak lain yang tersusun tertip sesuai skenario azaliyah, sehingga seorang hamba berkehendak melaksanakan dzikir kepada Tuhannya sebagai akibat. Apabila dengan usaha tersebut kehendak yang hadits menyatu dengan kehendak yang qadim, maka sesungguhnya tidak ada lagi yang berkehendak kecuali hanya Allah Rabbul ‘Alamin.
Apabila seorang salik mampu mencapai tahapan tersebut, dzikir haditsnya mencapai dzikir qodim, maka ia akan mencapai interaksi dua dzikir yang berbeda. Yang satu dzikir seorang hamba sebagai munajat dan satunya dzikir dari Tuhannya sebagai ijabah. Dengan demikian itu maka do’a dan munajat seorang hamba akan mendapat ijabah dari-Nya. Allah Ta’ala menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya :
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS.al Baqoroh(2)152)
(malfiali) ارَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ , وَاِرَادَتُكَ الاَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ العَلِيَّةِ.
“
Kehendakmu menggapai maqom tajrid padahal Allah s.w.t mendudukkanmu di maqom asbab, hal itu merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu menduduki maqom asbab padahal Allah s.w.t mendudukkanmu di maqom tajrid berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.
Barangsiapa mengenal dirinya berarti mengenal Tuhannya. Begitulah bunyi sebuah ungkapan dari Hadits Nabi s.a.w. Oleh karena itu, manusia harus mengenal dirinya sendiri. Dalam kaitan mengenal diri sendiri ini, mengenal maqom hidup adalah bagian terpenting yang harus dilakukan manusia. Dengan mengenal maqom hidup, seorang hamba akan mampu mengisi segala aktifitas pengabdian hidupnya dengan benar, baik bagi diri sendiri, lingkungan maupun kepada Tuhannya. Apabila maqom hidup itu tidak dikenali, manusia akan mengalami kebingungan sehinga menjadi terjerumus dalam kerugian hidup yang fatal.
Maqom hidup itu ada dua, pertama: maqom tajrid dan kedua maqom asbab. Yang dimaksud maqom tajrid adalah ‘kedudukan hidup’, di mana dengan kedudukan itu sumber rizki (kebutuhan hidup) manusia dimudahkan oleh Allah s.w.t. Sumber kebutuhan hidup itu didatangkan dengan tanpa dicari dan diikhtiari. Meskipun datangnya rizki itu melalui sebab-sebab, namun sebab-sebab itupun merupakan sesuatu yang didatangkan dengan mudah.
Sebagai contoh kehidupan para ‘ulama suci lagi mulia. Setiap hari kegiatan mereka hanya mengurus santri dan murid-murid serta jama’ahnya, sehingga tidak kebagian waktu untuk memikirkan sumber rizki secara lahir. Namun ternyata kebutuhan hidup mereka mendapat kecukupan. Bahkan terkadang melebihi kecukupan hidup orang-orang yang setiap hari sibuk mencari nafkah. Dengan maqom tajrid itu, seorang hamba yang ‘arifin hanya membaca sebab-sebab yang didatangkan, kemudian ditindaklanjuti dengan amal (ikhtiar).
Adapun maqom asbab, adalah suatu maqom dimana rizki seseorang tidak didatangkan kecuali melalui sebab-sebab yang diusahakan dan diikhtiari sendiri. Mereka tidak mendapatkan sumber kehidupan kecuali dari jalan ikhtiar yang dilakukan. Untuk itu mereka harus berikhtiar dan berusaha. Mencari dan menciptakan peluang supaya terbuka sebab-sebab baginya untuk mendapatkan rizki hidup. Setelah sebab-sebab itu terwujud, baru ditindaklanjuti dangan amal. Hal itu seperti merupakan keadaan yang dialami kebanyakan manusia.
Apabila kedua maqom tersebut dikaitkan dengan “usaha dan tawakkal”, sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t dalam firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ber’azam), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran; 159). Maka orang yang duduk di maqom tajrid adalah orang yang bertawakkal terlebih dahulu baru berusaha.
Maksudnya, dengan segala pengabdian hidup yang mereka jalani sebagai seorang tajrid, mereka juga harus mampu membaca keadaan. Ketika realita menunjukkan sebab-sebab untuk terbukanya sumber penghidupan, baru mereka ber-azam untuk menindaklanjutinya dengan ikhtiar.
Berbeda dengan orang yang duduk di maqom asbab. Orang tersebut harus ber-azam dahulu untuk membangun suatu sumber kehidupan, baik dari memulai menciptakan sebab-sebab sampai menindaklanjuti sebab itu dengan usaha dan perjuangan. Setelah usaha hidup itu berjalan dengan baik, untuk hasilnya, baru kemudian mereka bertawakkal.
Ibarat seorang permainan bola di lapangan, usaha hidup seorang tajrid adalah seperti orang yang menunggu bola datang. Setelah bola itu datang dan dikuasai, mereka kemudian harus memasukkannya ke gawang musuh. Sedangkan orang yang menerapkan maqom asbab, dari awal mereka harus mempunyai inisiatif penyerangan untuk menguasai bola, menggiring dan kemudian memasukkannya ke dalam gawang musuhnya. Jadi maqom tajrid ini bertawakkal dahulu baru berusaha sedangkan maqom asbab, berusaha dahulu baru bertawakkal.
Jangan Ingin Pindah Dari Satu Maqom Ke Maqom LainAsy-Syekh Ibnu Ath-Tho’illah r.a berkata: “
Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal Allah mendudukkanmu di maqom asbab merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal Allah mendudukkanmu di maqom tajrid berarti telah turun dari tingkat yang sangat tinggi”.
Maqom tajrid adalah maqom yang mulia, merupakan karunia besar yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Namun demikian, ketika pemiliknya masih hidup di dunia, keadaan tersebut, baik urusan ukhrawi maupun urusan duniawi, akan mengalami gejala sebagaimana sifat kehidupan dunia pada umumnya. Yakni terjadi pasang surut seperti pasang surutnya air laut.
Ketika tajridnya sedang naik, maka rizki orang tajrid itupun ikut naik. Rizki mereka didatangkan bagaikan air laut yang sedang pasang. Sumbernya memancar terus-menerus seakan tidak bisa putus lagi. Namun ketika tajridnya sedang turun, mereka terkadang bahkan mengalami kekeringan yang amat sangat. Seperti musim kemarau panjang yang seakan tidak turun hujan lagi. Keadaan seperti ini bagi seorang tajrid merupakan bentuk ujian yang sangat berat. Betapa tidak, ketika dia harus menghadapi desakan kebutuhan realita yang tidak dapat dielakkan. Menghadapi tuntutan kebutuhan hidup sebagai seorang kepala rumah tangga. Mereka melihat kesulitan hidup yang dihadapi anak-anak dan istrinya, bahkan kadang-kadang dihadapkan pada masalah yang berat, anaknya sedang sakit keras misalnya. Padahal sedikitpun dia tidak dapat berusaha untuk membawanya ke rumah sakit karena tidak tersedianya sarana dan dana. Dalam keadaan seperti itu, seorang tajrid tetap harus menunggu sebab yang datang. Mereka tidak boleh mengusahakan datangnya sebab itu meski dihadapkan dengan kematian.
Seandainya mereka masih menduduki maqom asbab, barangkali masih dapat berusaha, walau hanya untuk mendapatkan pinjaman dari makhluk misalnya. Akan tetapi di maqom tajrid hal tersebut tidak boleh dilakukan. Ketika sebab-sebab yang pertama tidak sedang berada di depan mata, datangnya sebab tersebut tidak boleh diharapkan dan diusahakan dari makhluk. Apabila hal itu dilakukan berarti akan menurunkan mereka pada derajat maqom asbab.
Seorang maqom tajrid hanya dapat menunggu kepastian yang akan terjadi. Apapun keadaannya, yang demikian itu lebih baik baginya daripada harus menyandarkan harapan kepada makhluk. Hal itu sebagai konsekuensi maqom yang diduduki tersebut. Untuk itu, dalam keadaan yang bagaimanapun mereka harus mampu menentukan pilihan hidup, mana yang boleh diusahakan dan mana yang tidak.
Seorang tajrid harus mampu meredam gejolak hatinya sendiri. Sedikitpun mereka tidak boleh menyandarkan harapan untuk mendapatkan pertolongan kepada sebab-sebab, akan tetapi hanya kepada yang menyebabkan sebab-sebab. Meskipun ketika Allah menurunkan pertolongan-Nya, tentunya pertolongan itu datang melalui sebab-sebab. Namun demikian, datangnya sebab-sebab itu bukan dari arah yang dikehendaki dan bukan pula dari usahanya sendiri. Menghadapi keadaan seperti itu, kadang-kadang hati mereka sempat menjadi goyang, bahkan hampir-hampir putus asa. (malfiali)
مِنْ عَلَامَاتِ الإعْتِمَادِ عَلى العَمَالِ نُقْصَانُ الرّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزََّللِ
“TANDA-TANDA BERGANTUNG KEPADA AMAL, KURANG HARAPAN KETIKA AMAL SEDANG LEMAH”.
Sebagai seorang hamba Allah s.w.t. manusia wajib mengabdi kepada-Nya, karena untuk itulah ia diciptakan. Pengabdian itu harus dijadikan sebagai landasan segala aktifitas dan perjuangan hidupnya di jalan-Nya. Supaya pengabdian itu bisa berjalan dengan baik, maka manusia harus melandasinya dengan dua sifat; Pertama sifat raja’ atau berharap dan kedua sifat khauf atau takut. Allah s.w.t. mengajarkan hal itu dalam firmanNya:
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, - dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”. (QS. Al-Hijr; 15/49-50)
Sifat raja’ diperlukan agar manusia tidak terjerumus dalam putus asa. Karena sebesar apapun dosa seorang hamba, sifat pengampunan Allah kepada yang dikehendaki-Nya lebih besar dan lebih luas tak terhingga.
Adapun dengan sifat khauf dimaksudkan agar seorang hamba tidak sembrono dan tidak mudah lepas kontrol. Sebab, sekecil apapun dosa yang sudah diperbuat, oleh karena tidak ada seorangpun yang pernah mengadakan perjanjian dengan Allah sehingga mendapatkan jaminan dimasukkan ke surga, maka tidak ada jaminan bagi seseorang untuk selamat dari dosa yang sudah diperbuatnya.
Amal Batin Adalah Buah Amal Lahir
Amal ibadah lahir, baik shalat, puasa, zakat shadaqah, dzikir, fikir, mujahadah maupun riyadlah, apabila dilaksanakan dengan benar, semata-mata mengharapkan ridla Allah, amal tersebut akan membuahkan amal batin yakni ketakwaan di dalam hati dan keyakinan kepada Allah. Jika amaliah tersebut dapat dilaksanakan secara istiqamah, sehingga iman dan yakin semakin meningkat, hasilnya seorang hamba akan mendapatkan ma’rifatullah, yakni mengenal kepada Allah s.w.t.
Namun, apabila tumbuhnya kekuatan yakin atau ma’rifat itu selalu berbarengan dengan terbitnya amalan lahir, dan ketika amal lahirnya sedang lemah menjadikan keyakinan atau ma’rifatnya lemah, sehingga pengharapan kepada Allah menjadi lemah pula. Maka melemahnya pengharapan kepada Allah disaat lemahnya alam lahir, itu merupakan tanda bagi sesungguhnya seorang hamba belum bertawakkal kepada Allah. Mereka belum yakin dan percaya kepada Allah tapi yakin dan percaya kepada amal ibadahnya. Belum yakin kepada Sang Pemberi akan tetapi yakin kepada alat untuk mendapatkan anugrah pemberian. Akibatnya, ketika ia sedang jauh dari amaliah yang di jalani itu, ia kembali akan kehilangan kepercayaan diri lagi.
Amal ibadah lahir, meski berbentuk wirid-wirid khusus seperti amaliah thoriqoh, seyogyanya hanya dilakukan oleh seorang hamba sebagai bentuk aktualisasi kerinduannya kepada Allah s.w.t. Amaliyah itu dijadikan semata-mata sarana dzikir dan fikir untuk menyampaikan hasrat dan munajat yang tersimpan dalam hati. Hanya sebagai pemenuhan kebutuhan “komunikasi ruhani” antara seorang hamba yang rindu kepada Junjungannya. Sedangkan segala kepastian dan takdir serta kehendak-Nya—yang sedang dihadapi—apapun bentuknya, baik senang maupun susah, sesungguhnya itu merupakan bentuk jawaban dari ibadah lahir itu. Realita itu sejatinya adalah dzikir balik dari-Nya, atau arus balik dari dzikir yang sudah disampaikan kepada-Nya.
Hati seorang hamba harus selalu siap menghadapi kepastian takdir itu, dalam keadaan sedang jalan wiridnya maupun tidak. Mereka siap di dalam hati, bahwa selain yang keluar dari kehendaknya (irodah) sendiri, pasti itu adalah kehendak Tuhannya. Untuk itu, apapun bentuknya—yang terjadi di dalam realita dan dari siapapun datangnya—kalau kehendak Tuhan sudah datang di hadapannya, seorang hamba yang ber-ma’rifat akan sanggup menyongsong realita itu dengan hati yang selamat. Mereka berprasangka dangan prasangka yang baik (husnudh-dhon), walau sedang dihadapkan dengan kematian sekalipun. Tidak ada pilihan lagi selain hanya berusaha memilih “apa-apa” yang sudah dipilihkan Allah untuknya.
Memang benar, kalimat terakhir yang dapat menyelamatkan manusia dari neraka dan menghantarkannya masuk surga adalah kalimat “Lailaha illa Allah”. Sungguhpun demikian, ketika kalimat itu sudah tidak lagi mampu diucapkan dengan lisan—karena terhalang oleh penderitaan sakaratul maut yang menyakitkan—maka boleh diucapkan di dalam hati. Sebab, kalimat itu akan benar-benar dapat menyelamatkan manusia dari fitnah sakaratul maut, apabila kalimat itu mampu dipancarkan oleh hati yang sadar. Sedangkan yang dimaksud dengan hati yang sadar adalah hati yang selalu berdzikir kepada Allah I atau hati yang berma’rifat kepada Tuhannya.
(malfiali)