Selasa, 16 Desember 2008

Tazkiyatun nafs/Penyucian Hati 1

DZIKIR

Kalau perjalanan sang musafir malam tidak terfasilitasi. Tidak ada inayah azaliyah yang menyinari sehingga banyak rintangan yang menghalangi. Berarti di dalam hati musafir itu masih banyak hijab-hijab basyariyah yang menyelimuti, baik hijab dosa maupun hijab karakter yang tidak terpuji, maka terlebih dahulu sang musafir

harus berbenah diri. Dengan merampungkan dua tahapan amal yang harus dilewati. Dengan amal itu, perjalanan berikutnya diharapkan menda-patkan fasilitas yang sudah menanti. Benah-benah diri itu dilaksanakan di dalam dua hal:

1. Melaksanakan at-Tazkiyah atau mensucikan jiwanya dari segala kotoran basyariyah. Sebagaimana yang telah dinyatakan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

"Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri * Dan ingat nama Tuhannya, lalu sembahyang* ". QS.al-

A’laa.87/14-17.

Yang dimaksud At-Tazkiyah ialah : melaksanakan pembersihan dan pensucian diri dari segala kotoran-kotoran

basyariyah, baik yang berupa dosa-dosa maupun sifat-sifat yang tercela dengan melaksanakan tiga tingkat tahapan amal sholeh sebagai perwujudan ibadah yang ikhlas kepada Allah SWT.

Tingkat pertama: Dengan melak-sanakan ibadah secara keseluruhan, baik puasa maupun sholat malamnya, dengan mujahadah maupun riyadhohnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Ibadah itu dilaksanakannya semata-mata hanya bersungguhsungguh untuk meng-hapus atau menghilangkan kotoran dan karat yang menempel di dalam hati, baik dari kotoran dosa maupun sifat-sifat yang tidak terpuji.

Tingkat kedua: Setelah seorang hamba merampungkan tazkiyahnya, baru selanjutnya ia akan mampu menghadirkan ma'rifatullah di dalam hati, akan Dzat-Nya, akan Sifat-Nya, akan Nama-nama-Nya dan akan Pekerjaan-pekerjaan-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya: “Wadzakarosma Robbihii" (Kemudian dzikir dengan menyebut nama Tuhannya).

Karena tidak mungkin seseorang mampu menyebut Nama-Nya di dalam hati kecuali sesudah terlebih dahulu mengenali-Nya.

Tingkat ketiga: Setelah merampungkan dua tahapan itu, menjadikan seorang hamba akan selalu sibuk dengan pengabdian yang hakiki. Yaitu, seluruh waktunya dima'murkan hanya untuk melaksanakan keta'atan kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya: “Fasholla" (kemudian melaksanakan Sholat). Karena sholat adalah pokok segala ibadah, kalau sholatnya baik, berarti seluruh amal ibadahnya juga akan baik.

2. Ibadah yang dilaksanakan hendaklah mendapat bimbingan seorang guru ahlinya. Guru mursyid thoriqoh yang suci lagi mulia. Baik secara maknawiyah maupun hissiyah, baik secara dhohir maupun batin. Sehingga dengan ibadah itu seorang hamba benar-benar sampai kepada Allah Ta’ala. Menjadikan hatinya menjadi khusu’ kepada-Nya. Karena hanya Allah Ta’ala tujuan yang paling utama. Ibadah yang dilakukan itu mampu menghantarkan ruhaniyah seorang hamba mengadakan mi’roj untuk memasuki alam malakut. Bersimpuh di hadapan Tuhannya untuk bermusya-hadah dah bermujalasah di permadani haribaan-Nya, Adalah perjalanan ruhaniyah yang akan mampu membentuk hati seorang hamba menjadi khusu’ hanya kepada Allah Ta’ala. Karena dengan perjalanan itu ruhani sang pengembara dapat merasakan kenikmatan ruhaniyah yang tiada tara, sehingga sejak itu hatinya telah dapat merasakan kepalsuan kehidupan duniawi yang fana yang selanjutnya menjadikan hati itu tidak lagi cenderung hanya memikirkan dan mencari kehidupan duniawi saja.

Apabila dengan ibadah yang seperti itu, seorang hamba diibaratkan memasuki sebuah rumah. Artinya dengan ibadah dhohir yang dilakukan itu bagaimana supaya seorang hamba mampu memasuki alam batin atau alam ruhaniyah, maka mestinya dia harus dapat memasuki rumah itu melalui pintu-pintu yang tersedia. Allah telah mengisyaratkan hal itu dengan firman-Nya:

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. QS.al-Baqoroh.2/189.

Itulah yang dimaksud penyatuan antara qodo’ dan qodar dalam satu amal. Menyatukan konsep langit dan konsep bumi dalam satu pelaksanaan karya nyata secara rasional. Masuk dan keluar dari satu pintu menuju dua dimensi yang berbeda dengan benar. Dimensi jasmani dan dimensi ruhani. Karena dari pintu ruhani yang qodim itu dahulu manusia telah meninggalkan rumahnya yang hakiki di alam ruhani memasuki rumah yang fana di dunia. Kalau tidak demikian, apabila penyatuan antara qodo’ dan qodar dalam kesatuan amal ibadah itu tidak dapat terwujud dengan benar, maka boleh jadi sebuah amal akan terputus dari jalan yang sesungguhnya, yaitu jalan inayah Allah yang azaliyah. Akibatnya, boleh jadi yang akan dihasilkan amal ibadah itu hanyalah pengakuan pribadi. Bahwa dirinya telah mampu berbuat amal bakti. Bahwa dirinya telah mampu menciptakan karya utama. Selanjutnya, manusia akan cenderung terjebak dengan sifat sombong yang membabi buta, yang kemudian syetan akan menambah kesombongan itu dan kesesatan yang akhirnya manusia akan cenderung terjerumus masuk ke jurang neraka. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari tipudaya nafsu dan syetan yang terkutuk.

Kamis, 11 Desember 2008

Kh.Romly Tamim

Kyai Romly Tamim
Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.

Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak dikaruniai keturunan.

Seusai pengabdiannya di Tebu Ireng dan setelah merasa gagal pada perkawinan pertama beliau nikah lagi dengan putri desa besuk Jombang yang bernama Nyi Maisyaroh. Perkawinan ini menghasilkan putra Ishomuddin yang telah kembali ke Rahmatullah dan Musta’in Romly. Sepeninggal Nyi Maisaroh belaiau nikah dengan Nyi Khodijah hingga berputra : A. Rifa’I, Sonhaji, A. Dimyati, Moh Damam Hury dan Tamim.

Diakhir hayatnya beliau sebagai Al – mursyid Thoriqot Qodiriyah Wannaqsabandiyah menggantikan kedudukan KH Cholil selama perjalanan hidup ia sempat menulisdan menyususn buku – buku pegangan Thoriqot antara lain Risalatul Waqiah, Risalah Solawat Nariyah dan Tsamratul Fikriyah. Allah SWT memanggil kembali ke alam sana pada 16 Romadhon 1377 atau 16 April 1958.


Rabu, 03 Desember 2008

Khalil Bangkalan Madura

Muhammad Khalil Al Maduri (1235 - 1341 H / 1820 - 1923 M)

Ulama besar yang digelar oleh para kiyai sebagai “syaikhuna” yakni guru kami, kerna kebanyakan kiyai-kiyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Kiyai Kholil bin Kiyai ‘Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai ‘Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asral Karamah bin Kiyai ‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu kepada Sunan Gunung Jati. Kiyai Kholil dilahirkan pada hari Selasa, 11 Jamadil Akhir 1235 di Bangkalan, Madura.

Dari kecil, kecintaannya kepada ilmu telah terserlah. Selain menghafal al-Quran, beliau sejak kecil telah hafal 1000 bait nazam Alfiyyah Ibnu Malik. Bahkan, beliau amat menitik beratkan pelajaran nahwu sehingga santri-santri beliau tidak akan dibenarkan menamatkan pengajian dan pulang ke kampung jika belum hafal Alfiyyah. Justru, setiap santri yang mohon untuk pulang, terlebih dahulu diuji hafalan Alfiyyahnya, jika belum hafal maka jangan harap diizinkan pulang. Begitulah penekanan yang beliau berikan kepada ilmu nahwu yang merupakan antara ilmu alat yang terpenting. Kelemahan dalam ilmu ini akan membawa kepada lemahnya memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, maka wajar sekali jika Embah Kholil memberikan penekanan terhadap ilmu ini.

Selain ilmu nahwu, beliau turut menguasai ilmu fiqh terutama sekali fiqh Syafi’i, tafsir, qiraah dan juga tasawwuf dan thoriqah. Beliau menghafal al-Quran dan menguasai segala ilmu berhubungan dengannya termasuklah menguasai qiraatus sab’ah. Beliau menimba pengetahuannya daripada ramai ulama seperti Kiyai Muhammad Nur dan di berbagai pesantren antaranya Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Cangaan Bangil, Pesantren Keboncandi Pasuruan dan Pesantren Banyuwangi. Setelah itu, beliau berangkat ke Makkah al-Mukarramah untuk menimba ilmu di sana. Sewaktu nyantri, beliau tidak mengharapkan biaya daripada orang tuanya, bahkan beliau menampung biayanya sendiri dengan melakukan berbagai pekerjaan di samping belajar.

Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.
Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H. Selain meninggalkan ramai santri yang menjadi ulama dan kiyai besar, beliau turut meninggalkan beberapa karangan antaranya “ash-Shilah fi bayanin nikah” dan “al-Matnusy-Syarif“. Moga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan kasih-sayangNya kepada Embah Kiyai Kholil serta para leluhurnya juga sekalian ulama dan umat yang mentawhidkan Allah s.w.t. .. al-Fatihah.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para muridnya itu adalah KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama), KH Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang), dan KH As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.